Soal Hukuman Mati Koruptor, Jaksa Agung Sebut Ada Hambatan Regulasi

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Jaksa Agung Burhanuddin memberi salam saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/1/2021).
18/11/2021, 15.26 WIB

Kejaksaan menyebut ada hambatan regulasi dalam wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor. 

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan sanksi pidana mati bagi koruptor hanya bisa diterapkan pada Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menyebut orang atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara bisa dipidana dengan hukuman seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Adapun ayat 2 menegaskan pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu. 

Menurut Jaksa Agung pembatasan syarat ‘keadaan tertentu’ membatasi pidana mati. Selain itu, ancaman pidana mati baru bisa dikenakan kepada koruptor tanpa melihat berapa banyak kerugian negara sebagai parameter utama. Padahal, kata dia, jenis dan modus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang sangat banyak dan tentunya merugikan keuangan negara.

Pada bagian ini, ia membandingkan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana setiap pelaku kejahatan dapat dikenakan pidana hukuman mati dengan melihat parameter berapa banyak jumlah narkotika pelaku.

"Pertanyaannya, kenapa dalam tindak pidana korupsi tidak diberlakukan parameter yang serupa," ujar dia.

Menurutnya, seharusnya dalam penerapan ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bisa menggunakan parameter berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan pelaku.

Tidak adanya parameter tersebut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebabkan banyak koruptor tidak bisa dikenakan hukuman mati, meskipun telah merugikan miliaran hingga triliun rupiah uang rakyat.

"Jadi, tidak bisa dikenakan pidana mati sepanjang tidak ada syarat-syarat khusus dalam keadaan tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 2,” ujarnya 

Selanjutnya, penafsiran "frasa dalam keadaan tertentu" pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga perlu dicermati lebih jauh. Sebab, menurut dia, hal itu masih belum jelas.

Ujung-ujungnya, frasa dalam keadaan tertentu bisa menimbulkan multitafsir dengan melibatkan banyak ahli. Keadaan itu justru bisa disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.

Keempat, mengenai instrumen hukum berupa peninjauan kembali (PK) dapat dimintakan lebih dari satu kali. Sementara, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menentukan ketentuan PK hanya boleh satu kali saja sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat 3 KUHP. Poin kelima yang perlu diwaspadai bersama adalah tidak adanya batasan waktu untuk pemohon pengajuan grasi putusan mahkamah.