Contoh Cerpen Singkat Inspiratif dan Penjelasan Strukturnya

Pexels/Lisa
Ilustrasi membaca cerpen
Editor: Safrezi
9/12/2021, 12.42 WIB

Membaca cerpen merupakan kegiatan hiburan yang edukatif. Aktivitas tersebut dapat mengasah kemampuan otak serta melatih tata bahasa. Bahkan, membaca memperlambat perkembangan penyakit Alzheimer dan demensia menurut studi dalam The Journals of Gerontology.

Cerita pendek atau cerpen adalah teks fiksi yang terdiri dari 2.000 kata sampai dengan 10.000 kata. Ada juga cerpen yang hanya terdiri dari 750-1.000 kata yang disebut cerita mini (cermin). Pengertian tersebut tercantum dalam buku Creative Writing 72 Jurus Seni Mengarang oleh Naning Pranoto.

Struktur Cerpen

Menurut buku Rambu-rambu Menulis Cerpen, ada enam aspek penulisan cerpen. Struktur cerpen dapat dipahami melalui penjelasan berikut.

  • Abstrak: Ringkasan atau inti dari cerpen yang akan dikembangkan menjadi sebuah rangkaian peristiwa atau bisa juga sebagai gambaran awal dalam cerita. Abstrak bersifat opsional, setiap cerpen boleh tidak terdapat abstrak.
  • Orientasi: Berkaitan dengan waktu, suasana, tempat, dan jalan cerita dalam cerpen.
  • Komplikasi: Urutan kejadian yang memiliki hubungan sebab dan akibat. Karakter tokoh cerpen mulai mengalami kerumitan dan masalah.
  • Evaluasi: Struktur konflik yang terjadi dan mengarah pada klimaks serta mulai muncul pemecahan masalah.
  • Resolusi: Penulis cerpen mengungkapkan solusi bagi para tokoh.
  • Koda: Nilai atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita pendek oleh pembaca.

Setelah memahami struktur cerpen, simak contoh cerpen berikut ini.

Contoh Cerpen Pendidikan Kejujuran

Bersumber dari buku Kumpulan Cerita Anak oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berikut contoh cerpen pendidikan tentang kejujuran.

Judul: Hanya Sebuah Kejujuran.

Penulis: Bintang Nurul Hidayati.

Niken hanya bisa berdiam diri dan menelan ludah waktu melihat Sasha berbuat curang. Teman sebangkunya itu diam-diam menghapus jawaban yang salah di kertas ulangannya. Lantas menggantinya dengan jawaban benar yang ditulis Bu Aisyah di papan tulis.

Bu Aisyah, wali kelas 5A, sangat mempercayai murid-muridnya. Setiap kali selesai ulangan, murid-murid diajak memeriksa hasil kerja mereka sendiri. Menurut Bu Aisyah, ini untuk membantu agar murid-murid bisa lekas mengetahui di mana letak kesalahan mereka.

Setelah kertas ulangan itu selesai dijumlahkan berapa yang salah dan berapa yang benar, semuanya ditumpuk di meja guru. Bu Aisyah pun memeriksanya dengan cepat. Senyuman lebar tersungging di wajah cantiknya. Matanya berbinar, mendapati bahwa kertas ulangan murid-muridnya tidak banyak memuat tanda silang. Kertas ulangan Sasha bahkan bersih, tanpa tanda silang sama sekali.

“Ibu senang melihat cara belajar kalian di kelas lima ini. Secara bertahap, kalian mulai mengalami peningkatan....” Kalimat bu guru belum selesai, tapi anak-anak sudah menyambutnya dengan tepuk tangan tanda gembira.

Yeeaayy!” seru mereka.

Setelah kelas kembali tenang, Bu Aisyah pun melanjutkan. “Seperti teman kalian, Sasha, yang Ibu lihat semua jawabannya benar. Nah, untuk selanjutnya, kalian harus lebih giat lagi belajar.” Anak-anak pun memandang ke arah Sasha dengan kagum. Sementara itu, dari bangkunya yang tidak jauh dari bangku Sasha, seorang anak bernama Wulan tampak diam termangu.

Wulan tadi juga sempat melihat bahwa Sasha berbuat curang. Tapi mulutnya terkunci rapat, tidak berani menegur. Dia juga melihat bahwa Niken pun mengetahui kecurangan Sasha. Wulan berharap Bu Aisyah mengetahui hal ini, lantas menegur Sasha. Sayang sekali, tadi gurunya itu sedang sibuk memasukkan nilai ulangan IPA murid-murid ke buku besar.

Sejak dulu Wulan sangat mengagumi Sasha. Temannya itu cantik, ramah dan datang dari keluarga kaya yang sangat dihormati di daerah mereka. Keluarga Sasha juga terkenal sangat baik dan pemurah. Wulan ingat benar, betapa sedih dan bingung keluarganya, tiga bulan yang lalu. Saat itu, Bapaknya di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja. Tapi Ayah Sasha menyelamatkan keluarga mereka dari kesulitan ekonomi. Bapak diberi pekerjaan baru, menjadi sopir pribadi Pak Darma, Ayahnya Sasha.

“Mengapa Niken tidak menegur Sasha, ya?” pikir Wulan heran. Tak lama kemudian, sesuatu terlintas di benaknya. “Hm, mungkin karena itu,” bisiknya kepada diri sendiri.

Wulan menduga, Niken segan menegur teman sebangkunya itu, karena merasa berhutang budi kepada keluarga Sasha. Ia pernah mendengar cerita dari Bapaknya, Pak Darma rutin memberikan santunan kepada anak-anak yatim, termasuk Niken dan adik-adiknya. Berkat Pak Darma, anak-anak yatim yang tidak mampu di daerah mereka dapat terus bersekolah sampai saat ini.

Selama ini, baik Wulan maupun Niken merasa lebih berterima kasih lagi kepada Sasha. Anak yang kaya itu tidak pernah berbicara satu patah kata pun tentang bantuan keluarganya saat mereka di sekolah. Di luar sekolah juga tidak. Tak ada teman lain yang tahu. Wulan, Niken, dan anakanak lain yang seperti mereka, tidak perlu merasa malu atau rendah diri karena dibantu.

Hari demi hari berlalu. Wulan dan Niken merasa gelisah dan serba salah karena kecurangan Sasha terus berlanjut. Tiap kali mereka diberi kesempatan memeriksa kertas ulangan masing-masing, Sasha mengganti jawaban yang salah di kertas miliknya. Perbuatan curang itu tak kunjung ketahuan. Tak ada yang menyangka, bahwa Sasha bisa berbuat curang.

Pagi itu, Bu Aisyah masuk ke dalam kelas dengan wajah ceria. “Anak-anak, dua minggu lagi akan diadakan lomba cerdas cermat antar kelas 5 di sekolah kita ini. Masing-masing kelas harus memilih satu orang untuk perwakilan,” ucap Bu Aisyah. “Sebenarnya Ibu sudah menyiapkan beberapa calon. Tetapi, kali ini Ibu ingin mendengar pendapat dari kalian.”

Seorang anak di bangku paling belakang mengangkat tangannya. “Dini saja, Bu. Dia kan yang sejak kelas satu selalu mewakili kelas untuk lomba,” usulnya.

“Wah, jangan Dini lagi, Dini lagi, Bu. Cari yang paling pintar saja. Saya usul Sasha, Bu. Akhir-akhir ini dialah yang sering dapat nilai tertinggi,” celetuk seorang murid bernama Iwan.

“Ya, Sasha juga bagus sekarang,” gumam yang lain.

Ternyata ada dua pilihan yang sama-sama kuat, yaitu Dini dan Sasha. Mereka pun sepakat untuk melakukan pemungutan suara seperti ketika memilih ketua kelas. Saat penghitungan suara, Dito, ketua kelas 5A membantu Bu Aisyah. Murid-murid duduk dengan tenang di bangku masing-masing, menunggu dengan rasa penasaran. Ternyata, yang mendapat suara paling banyak adalah Sasha. Ini hal baru buat kelas mereka. Juga buat Dini, anak perempuan berkacamata yang selama ini selalu mendapat peringkat pertama di kelas.

Kok Sasha yang terpilih, ya? Biasanya kan Dini,” bisik seseorang dari belakang bangku Wulan.

“Ssssttt..! Jangan keras-keras, nanti Sasha dengar,” balas Wulan sambil berbisik.

Sedangkan Dini, Si Juara Kelas, menarik napas dalam-dalam. “Harus bagaimana ini?” tanyanya dalam hati. Sungguh tidak enak rasanya, dikalahkan oleh anak yang tidak pernah mendapat peringkat tiga besar, seperti Sasha. Dadanya mendadak menjadi sesak, matanya terasa panas.

Sementara itu, mendengar pengumuman Bu Guru, Wulan dan Niken jadi merasa gelisah. Saat jam istirahat dan kelas sudah sepi, mereka berdua menghampiri bangku tempat duduk Dini.

“Seharusnya kamu yang dipilih mewakili kelas kita, Din,” ucap Wulan pelan. Dini hanya tersenyum, meski hatinya terasa sedikit sakit. “Kamu kan sudah sering ikut lomba, pasti nanti enggak grogi. Kalau Sasha kan..,” Wulan menghentikan ucapannya dan kelihatan ragu untuk meneruskan.

Niken merendahkan suaranya, lantas berbisik kepada Dini. “Tahu tidak? Sebenarnya Sasha masih banyak salah waktu mengisi ulangan. Tapi, ia curang. Mengganti jawaban yang salah dengan jawaban yang di papan tulis.”

Dini terbelalak kaget. “Apa kalian melihatnya?” tanyanya gugup. Kedua temannya mengangguk.

“Aku khawatir, kalau Sasha yang maju lomba nanti kelas kita kalah. Tolong dong, kamu bilang ke Bu Aisyah. Selama ini kamu kan murid kesayangannya. Kamu sudah banyak mengharumkan nama sekolah,” kata Wulan serius.

Dini terlihat bingung. Di satu sisi, ia ingin sekali terpilih lomba cerdas cermat seperti biasa. Tapi, tidak enak rasanya melaporkan keburukan teman kepada guru. Ia bukan anak yang suka mengadu. Bagaimana kalau nanti Bu Aisyah tidak mempercayai laporannya?

“Kami bersedia menjadi saksi bila diperlukan,” tambah Niken, seakan memahami keraguan Dini.

Dini makin bingung. Ia belum pernah melihat Sasha berbuat curang. Dalam hati, ia ingin membicarakan masalah ini dengan Bu Aisyah. Tapi, yang paling membuat hatinya berat hanya satu hal. Dini masih ingat betul masa-masa pahit saat Ayahnya menderita sakit parah. Ayahnya yang bekerja sebagai tenaga pembukuan di kantor Pak Darma, harus dirawat sampai berbulan-bulan di rumah sakit. Di perusahaan lain, mungkin pegawai yang seperti itu akan dipecat atau dipotong gaji. Tapi gaji yang diterima Ayah Dini tetap utuh. Malahan, Pak Darma sering menghadiahi Ayah dengan obat-obatan herbal untuk mempercepat kesembuhannya.

Dini teringat bagaimana tadi kegembiraan terpancar di wajah Sasha. Dini tidak mau merusak semua itu. “Biarlah. Mungkin kali ini tidak apa-apa. Biar Sasha senang,” pikirnya dalam hati. “Toh selama ini Sasha dan keluarganya juga sudah banyak membahagiakan orang lain.”

Pagi-pagi sekali, Wulan dan Niken sudah datang di sekolah. Mereka begitu bersemangat untuk menyaksikan lomba cerdas cermat ini. Mereka segera naik ke lantai dua, yang sekarang sudah diubah menjadi semacam aula.

Aula itu sehari-harinya adalah ruang kelas 5A, B, dan C yang saling terpisah. Jadi, di lantai dua itu sebenarnya hanya ada sebuah ruangan yang besar dan memanjang, tetapi disekat menjadi tiga ruang terpisah yang sama besar. Setiap kali dibutuhkan, sekat ruangan yang terbuat dari papan-papan kayu bisa dibongkar dengan mudah.

Di bagian depan aula, disusun tiga meja secara sejajar. Masing-masing mempunyai sebuah kursi. Berhadapan dengan tiga meja tadi, terdapat sebuah meja besar untuk para juri. Sementara bangku-bangku penonton disusun rapi, memanjang ke belakang.

Saat mereka berdua sampai di dalam ruang lomba, beberapa bangku sudah terisi. Bangku-bangku yang berada di dua barisan paling depan sengaja dikosongkan untuk tempat duduk para guru.

Tak lama kemudian, para peserta, juri, dan guru-guru memasuki ruangan lomba. Sorak-sorai memenuhi ruangan tersebut. Murid-murid dari kelas 5A, 5B dan 5C meneriakkan yel-yel untuk menyemangati wakil dari kelas mereka masing-masing.

Setelah sorak-sorai dan tepuk tangan mulai mereda, Pak Guru kelas 6, yang menjadi salah satu juri lomba, mulai memberikan pertanyaan. Pertanyaan itu berisi soal matematika.

Para peserta berusaha menghitung dengan cepat di kertas yang sudah disediakan di atas meja. Saat Sasha masih berkutat dengan hitungannya, wakil dari kelas 5B mengangkat tangan kanannya.

“Jawabannya adalah 75,” ucap anak laki-laki yang menjadi wakil kelas 5B.

Pak Guru terdiam sebentar. Kemudian ia mengangguk. “Ya, benar!” jawabnya. Wakil dari kelas 5B itu tersenyum bangga. Para murid yang menonton memberi tepukan tangan meriah. Sedangkan Guru lainnya menuliskan sebuah garis pada kolom kelas 5B di papan tulis.

Pertanyaan lain diajukan oleh juri yang berbeda. Sasha belum mengangkat tangannya saat wakil dari kelas 5B mengangkat tangan, lantas menjawab pertanyaan dengan benar. Satu poin lagi untuk kelas 5B.

Perlombaan ini berjalan dengan seru dan menegangkan. Wakil dari kelas 5B dan wakil dari kelas 5C bersaing ketat memperebutkan juara. Nilai mereka saling mengejar di papan tulis. Sedangkan Sasha tertinggal sangat jauh.

Wulan, Niken, Dini, dan murid-murid dari kelas 5A tercengang. Kelas-kelas lainnya sudah mendapat belasan poin. Sementara Sasha sama sekali belum mengangkat tangan untuk menjawab. Mereka bertiga hampir meneteskan airmata, karena bisa melihat dengan jelas bahwa Sasha gemetar. Tangannya meremas ujung seragamnya. Keringat bercucuran dari dahinya. Ia terlihat gugup karena selalu tertinggal dalam menjawab.

Aula yang dijadikan ruangan lomba kini dipenuhi dengan suara berbisik-bisik. Sementara wakil dari kelas 5B dan 5C menjawab pertanyaan dengan lantang.

Wah, kalau begini kelas 5A yang mendapat juara terakhir,” bisik seorang murid yang duduk di depan Wulan dan Niken.

“Iya. Padahal kelas 5A itu kan, kelas unggulan,” tambah murid yang lain, sambil berbisik juga. Niken, Wulan, dan Dini yang duduk bersebelahan, saling berpandangan dengan sorot mata cemas. Mereka hanya bisa berdoa dalam hati.

Para juri masih memberikan beberapa pertanyaan lagi. Sasha berhasil menjawab 3 pertanyaan dengan benar sebelum lomba ini berakhir. Tetapi, tentu saja itu belum cukup untuk menyaingi poin yang sudah didapatkan oleh kelas-kelas lain.

Lomba pun berakhir. Para juri memberi selamat kepada ketiga anak yang mewakili kelas mereka masing-masing. Semua tersenyum, tapi Sasha terlihat sangat murung. Dari tempat duduk mereka, Wulan, Niken dan Dini yakin bahwa sebenarnya Sasha merasa malu sekali. Kepalanya menunduk dan kedua pipinya memerah, seperti ingin menangis.

Ketiga temannya tidak tahu harus berbuat apa. Mereka merasa tidak enak hati, dan terlebih lagi mereka merasa sangat bersalah. Sedih dan tertekan sekali rasanya, melihat Sasha yang sebetulnya begitu baik, hari ini terlihat menderita.

Saat itulah rasa sesal yang begitu kental terasa membanjiri rongga dada Wulan, Niken dan Dini. Ah, seandainya saja mereka mempunyai keberanian untuk menegur Sasha jauh sebelum hari ini. Seandainya saja mereka bisa melawan perasaan sungkan karena telah banyak dibantu oleh keluarga Sasha. Pastilah Sasha tidak perlu menanggung malu seperti itu.

Sasha diam-diam menyesali kecurangannya. Seandainya saja ia jujur sejak awal, tentu wajahnya akan terselamatkan dari rasa malu. Seandainya ia tidak terlena dengan kebanggaan semu, tentu hatinya tidak akan tersayat oleh kesedihan.

Contoh Cerpen Singkat

Berikut contoh cerpen singkat dari buku Dari Kata Berakhir Karya oleh Tim GLN Gareulis Jabar SMP Negeri 2 Sindang.

Judul: Gadis Kecil di Danau.

Penulis: Emsi Susilawati

Di suatu pagi yang cerah ketika aku berjalan-jalan di danau dekat rumah. Aku melihat seorang anak perempuan yang tidak jauh umurnya denganku sedang duduk sendiri di pinggir danau sambil memandangi air seraya berkaca-kaca. Aku pun akhirnya kembali berjalan dan ketika aku kembali sore hari ke danau itu. Aku masih melihat anak perempuan itu. Awalnya aku tidak penasaran kepada anak perempuan itu tapi lama-lama, aku semakin penasaran sudag beberapa hari setelah aku melihatnya. Di kala senja mata hari aku melihat dia aku pun mencoba mendekatinya ketika aku mencoba untuk berbicara dengannya. Anak perempuan itu pergi ketika aku mengejarnya, aku tidak melihatnya lagi.

Di pagi harinya aku melihat gadis itu ada di sana aku pun mencoba mendekatinya lagi namun gadis itu terlihat takut. Aku berbicara pelan-pelan dan akhirnya aku pun bertanya siapa namanya? Namanya adalah Dina. Aku pun bertanya kembali kenapa dia sering ada disini? Dia menjawab bahwa dia dan orang tuanya sering ke sini dan di sini terakhir kali dia bertemu orang tuanya karena dia terpisah ketika sedang bermain disini. Kemudian dia bertemu orang tua angkatnya yang sering menyuruh dia untuk bekerja. Dia bekerja membantu seseorang di toko roti dan membantu mengantarkan roti itu. Ketika malam mulai datang, aku dan Dina pergi kembali ke rumah kita masing-masing.

Setelah pertemuan itu, kita semakin dekat dan menjadi sahabat tapi ketika sore harinya, Dina pulang dari pekerjaannya. Kami sering bermain bersama di danau. Malam datang tapi aku belum mengetahui isi tempat tinggal Dina. Aku heran karena setiap aku bertemu dengannya, aku melihat luka di mukanya. Akhirnya aku mengikuti Dina sampai ke rumahnya ketika mendengar sebuah teriakan dari dalam rumah saat aku mendekati rumahnya. Dina sedang dimarahi oleh orang tuanya. Aku pun tak tega melihat Dina, aku masuk dan mendorong ayah Dina dan mengajak Dina pergi. Namun, Dina tidak mau aku menariknya. Ketika aku mengajaknya di danau, dia marah dan kecewa padaku karena telah mendorong ayahnya. Dia pergi dan aku tidak tahu lagi ia pergi entah kemana.

Lima hari kemudian, aku tidak pernah melihatnya lagi di danau maupun di rumahnya. Ketika aku ke danau, aku melihat dia kemudian aku langsung menghampirinya dan meminta maaf padanya dan dia juga memaafkan kesalahanku. Lalu aku memberikan hadiah boneka yang dia inginkan, akhirnya Dina merasa bahagia. Ketika Dina sedang bersama temannya di danau, Dina melihat seorang ibu yang sedang menangis. Lalu mereka menghampirinya kemudian Dina bertanya kepada ibu tersebut, “Mengapa ibu menangis?”

Ibu itu menceritakan anak perempuannya yang hilang beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertanya siapa nama anaknya? Ibu itu menjawab, “Dina.” Akhirnya Dina terkejut dan bertanya-tanya. Dina menangis dan menceritakan bahwa dia juga pernah berpisah dengan orang tuanya. Ibu dan Dina berpelukan. Semenjak itu, Dina tinggal bersama ibunya dan sering bermain di danau bersama aku.

Contoh Cerpen Persahabatan

Berikut ini contoh cerpen bersumber dari Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa oleh Afwan Sutdrajat.

Judul: Sampai Akhir Menutup Mata

Penulis: Erfransdo

“Ben, kamu udah bersyukur belum hari ini?” pertanyaan yang sering dilontarkan kawanku Andi setiap harinya yang membuatku tersadar betapa pentingnya bersyukur atas kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada kita. Alasan Andi bertanya seperti itu kepadaku tak lain ia hanya ingin membuatku ingat akan perjuangan para pahlawan yang rela mati demi mengibarkan bendera merah putih yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sikap ramahnya membuatku semakin beruntung memiliki sahabat seperti Anda, mungkin tidak banyak orang yang seperti Andi di dunia ini.

“Andi, kamu gak latihan hari ini?”, tanyaku kepada Andi yang sedang memainkan game di ponselnya.

“Kayaknya hari ini aku gak bisa latihan, soalnya badanku kurang fit, Ben”, jawab Andi sambil menoleh ke arahku. Tidak biasanya Andi seperti itu, mungkin ia terlalu lelah karena kemarin telah berlatih renang dengan keras. Aku pun terpaksa harus berlatih renang tanpa Andi hari ini.

Aku dan Andi adalah atlet renang nasional yang tahun lalu ikut kejuaraan renang di Thailand, namun hasilnya kurang memuaskan. Kami gagal mempersembahkan medali emas bagi Indonesia. Dan tahun ini kami berharap bisa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Bulan depan aku dan Andi akan melewati masa karantina, maka dari itu kami harus mempersiapkannya dari sekarang untuk mengikuti kejuaraan renang di Singapura.

Masa karantina pun telah dimulai, semua atlet renang termasuk aku dan Andi sangat berlatih keras demi menampilkan yang terbaik di Singapura nanti. Semangat begitu terpancar di wajah Andi yang selalu melontarkan pertanyaan sakral kepadaku setiap harinya itu. “Ben, tahun ini kita harus bisa kibarkan bendera Indonesia dan kumandangkan Indonesia Raya di Singapura, bawa medali emas!” ucap Andi kepadaku ketika sedang latihan.

Tak terasa, kami pun sudah berada di Singapura dengan semangat 45 yang berkobar. Kebetulan kejuaraan ini bertepatan dengan bulan Agustus, bulan di mana Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Andi sangat berantusias untuk memberikan kado terindah bagi ulang tahun Indonesia yang hanya beberapa hari lagi.

Dua hari lagi aku akan bertanding melawan negara-negara lainnya yang akan memperebutkan medali lewat cabang renang gaya punggung putra. Sementara sehari setelahnya Andi akan berlaga di gaya bebas putra. Meskipun Andi adalah seorang kristiani, tetapi ia sering mengingatkanku akan berdoa atau salat terlebih dahulu sebelum bertanding.

Hari ni aku gagal mengumandangkan Indonesia Raya di Singapura walaupun pencapaianku hari ini lebih baik ketimbang tahun lalu karena di kejuaraan tahun ini aku berhasil mempersembahkan medali perak bagi Indonesia.

Keesokan harinya giliran Andi sahabat terbaikku yang akan berjuang di medan perang. Ketika bertanding Andi selalu menganggap semua lawannya seperti para penjajah di masa lampau yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Dengan begitu, Andi bisa lebih bersemangat dalam bertanding. Tahun lalu Andi hanya mendapatkan medali perak dan tahun ini ia menargetkan emas untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Semalam sebelum bertanding, Andi menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sangat lantang. Katanya, ia harus berlatih mengumandangkan lagu Indonesia Raya untuk besok karena ia sangat yakin besok bisa menjadi juara pertama di renang gaya bebas putra sehingga bisa mengumandangkan lagu ciptaan W.R. Soepratman itu.

Hari yang ditunggu Andi pun telah tiba, ia sudah mempersiapkan segala-galanya. Dan tak lupa Andi kembali mengingatkanku lagi dengan pertanyaan sakralnya. Semua perlengkapan telah melekat di badan atletisnya itu. Tak lama setelah bel berbunyi tanda dimulainya lomba, Andi pun meluncur deras ke dalam kolam bak laut biru itu dan menyerahkan semua hasilnya pada Sang Maha Kuasa.

Andi harus menyelesaikan lomba ini dengan dua putaran. Pada putaran pertama Andi berhasil memimpin, namun ketika berputar balik kecepatannya terlihat menurun dan setelah itu tubuh Andi seakan tak terlihat lagi. Andi tak berhasil menyelesaikan perjuangannya, ia tak sadarkan diri ketika akan mendekati garis finish.

Andi telah berpulang di Singapura, semua rombongan timnas renang Indonesia termasuk aku sangat terpukul dengan kepergiannya terlebih Andi adalah sahabat terbaikku selama ini. Namun perjuangannya tidaklah sia-sia, impiannya untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya tidaklah sepenuhnya gagal. Untuk menghormati dan memberikan selamat jalan kepada Andi, lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Singapura. Dan aku yakin, Andi pun pasti ikut bernyanyi bersama kami.

Aku bangga memiliki sahabat seperti Andi yang berjuang habis-habisan di medan perang walaupun kondisinya tidak begitu baik hanya untuk bisa kibarkan merah putih dan kumandangkan Indonesia Raya sampai akhir hanyatnya, sampai matanya benar-benar takkan pernah terbuka lagi.