Sejarah Perjanjian Roem Royen Lengkap dengan Tokoh yang Terlibat

id.wikipedia.org
Suasana Konferensi Permulaan Meja Bundar
Penulis: Siti Nur Aeni
10/12/2021, 17.08 WIB

Perjanjian Roem Royen merupakan salah satu rangkaian perjanjian yang dilakukan Bangsa Indonesia setelah Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Sama halnya dengan dua perjanjian sebelumnya, tujuan Perjanjian Roem Royen juga untuk menyelesaikan konflik Indonesia – Belanda.

Tak hanya itu, perjanjian ini juga memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Bagaimana sejarah Perundingan Roem Royen? Berikut penjelasan lengkapnya.

Latar Belakang Perjanjian Roem Royen

Mengutip dari buku “Sejarah Indonesia Kelas XI”, Perundingan Roem Royen ternyata memiliki cerita sejarah yang panjang. Berawal pada bulan pertama tahun 1949 saat terdapat desakan dari Dewan Keamanan PBB yang membuat Belanda akhirnya melakukan pendekatan politis dengan Indonesia.

Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Dress mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan tersebut diterima dan merupakan pertemuan pertama Indonesia – Belanda sejak 19 Desember 1948.

Pertemuan tersebut tidak diumumkan kepada masyarakat umum karena sifatnya informal. Pertemuan informal lain juga dilakukan oleh utusan dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dengan Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta di tanggal 21 Januari 1949.

Hasil pertemuan tersebut juga tidak diumumkan secara resmi, namun diberitakan dalam harian Merdeka tanggal 19 dan 24 Januari 1949. Meskipun tidak resmi, namun pertemuan tersebut mencapai kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan oleh Moh. Roem.

Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan PBB dalam perundingan formal. Pada bulan berikutnya, tepatnya 13 Februari 1949 Mohammad Hatta secara resmi mengeluarkan pendapat.

Isi dari argumen tersebut yaitu perundingan bisa terjadi jika telah dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah Indonesia sesuai dengan resolusi PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendapat Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO.

Maka dari bisa disimpulkan bahwa Indonesia menyetujui adanya perundingan. Sehingga pada 26 Februari 1949, Belanda mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 12 Maret 1949.

Dua hari setelah pengumuman KMB atau tepatnya pada 28 Februari 1949, Belanda mengutus Dr. Koets untuk menemui Ir. Soekarno dan beberapa pimpinan RI di Pulau Bangka. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyampaikan rencana KMB bulan Maret yang akan datang.

Tanggal 3 Maret 1949, Presiden Soekarno kemudian berbicara dengan BFO terkait perlunya pengembalian kedudukan RI sebagai syarat diadakannya perundingan sesuai resolusi PBB. Tanggal 4 Maret, Soekarno kemudian membalas undangan dari Dr. Koets.

Undangan tersebut merupakan undangan untuk pemerintah Indonesia. Sehingga Presiden Soekarno menyampaikan bahwa Indonesia tidak bisa ikut berunding jika pemerintahan belum dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan demikian, sebelum perundingan terjadi, Belanda harus mengakui kedaulatan RI.

Sementara itu, pihak BFO juga mengeluarkan pernyataan yang isinya sebuah pemberitahuan bahwa BFO tetap berpegang teguh pada pendirian semula. Tanggal 23 Maret 1949, Komisi PBB untuk Indonesia menyampaikan kepada Belanda bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan resolusi PBB dan tidak merugikan tuntuan kedua belah pihak.

Peristiwa Perjanjian Roem Royen

Setelah melalui berbagai perundingan informal, akhirnya pada 14 April 1949 Indonesia dan Belanda melakukan perundingan di Hotel Des Indes atau yang sekarang bernama Hotel Duta Melin, Jakarta. Perundingan dilakukan cukup lama dan sempat terhenti karena perbedaan pendapat yang sengit.

Perundingan yang berjalan lambat membuat Mohammad Hatta akhirnya datang ke Jakarta pada 24 April 1949. Pihak RI kemudian menempuh jalan lain yaitu dengan mengadakan perundingan informal secara langsung dengan Belanda yang disaksikan Merle Cochran.

Tanggal 25 April 1949 juga diadakan pertemuan informal antara Mohammad Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Roiyen. Hasil pertemuan tersebut tidak diumumkan. Namun Mohammad Hatta menyampaikan bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda.

Singkat cerita akhirnya kedua belah pihak menyetujui pernyataan dari masing-masing pihak dalam hal ini Indonesia dan Belanda. Perjanjian tersebut kemudian ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh Mr. Moh Roem dari Indonesia dan Dr. Van Roiyen dari Belanda. Maka dari itu, persetujuan ini disebut sebagai Perjanjian Roem Royen.

Isi Perjanjian Roem Poyen

Dalam perjanjian ini terdapat dua pernyataan yang dikeluarkan oleh Indonesia dan Belanda. Mengutip dari buku “Sejarah Indonesia Kelas XI”, berikut isi Perjanjian Roem Royen.

Isi Penyataan Perwakilan Indonesia

  1. Indonesia menyatakan kesanggupan untuk mengehentikan Perang Gerilya sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.
  2. Bekerjasama mengambalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.
  3. Indonesia akan turut serta dalam KMB di Den Haag dengan tujuan mempercepat penyerahan kedualatan dan sebenarnya tanpa syarat.

Isi Penyataan Perwakilan Belanda

  1. Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta tanggal 24 Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah tersebut.
  2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
  3. Konferensi Meja Bundar akan dilaksanakan di Den Haag.

Tokoh Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem Royen diambil dari nama ketua delegasi dari masing-masing negara. Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem. Sedangkan Belanda diwakili oleh Herman van Roijen.

Selain kedua tokoh tersebut, ternyata masih ada beberapa pihak yang terlibat dalam perundingan ini. Siapa saja delegasi dalam perjanjian ini? Berikut daftarnya.

Pihak Indonesia

  1. Moh. Roem
  2. Supomo
  3. Ali Sastroamidjojo
  4. Johannes Leimena
  5. K. Pringgodigdo
  6. Johannes Latuharhary
  7. Mohammad Hatta
  8. Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Pihak Belanda

  1. H. van Roijen
  2. Blom
  3. Jacob
  4. Van
  5. Gede
  6. P. J. Koets
  7. van Hoogstratenden
  8. Gieben

Pihak UNCI

  1. Merle Cochran dari Ameirka Serikan
  2. Critchley dari Australia
  3. Harremans dari Belgia