Keputusan Indonesia untuk mendelegasikan sebagian besar ruang kendali udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna kepada Singapura dinilai tidak menjadi masalah. Pasalnya, hal tersebut menguntungkan dari sisi ekonomi dan tidak terkait dengan persoalan kedaulatan negara.
Sebagai informasi, Indonesia telah mengambil alih kendali ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna melalui menandatangani penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight Information Region (FIR), pada Selasa (25/1).
Namun, Indonesia belum bisa mengambilalih sepenuhnya dan masih mendelegasikan sebagian besar tugas itu kepada Singapura.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan pemerintah Indonesia tetap memiliki hak ekonomi atas FIR Kepulauan Riau dan Natuna walau FIR telah didelegasikan.
Indonesia juga memiliki hak ekonomi atas setiap pesawat yang pergi atau berangkat dari Singapura dan melewati FIR Kepulauan Riau dan Natuna.
Terkait kedaulatan negara, Alvin menilai tidak ada kaitan antara pendelegasian FIR Kepulauan Riau dan Natuna di bawah 37 ribu kaki dengan kedaulatan negara.
Dia mengingatkan Indonesia juga menguasai FIR Timor Leste dan Christmas Island yang merupakan bagian dari Australia.
Seperti diketahui, pemerintah mendelegasikan area udara pada ketinggian 0-37.00 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Adapun, mayoritas penerbangan komersial beroperasi 31.000 hingga 38.000 kaki.
Di samping itu, Alvin berpendapat pemerintah harus menambah investasi jika ingin mengendalikan seluruh FIR Kepulauan Riau dan Natuna.
Menurutnya, dana itu lebih baik dan bermanfaat jika digunakan untuk manajemen darat di bagian timurIndonesia.
"Kalau harus menggantikan apa yang diinvestasikan Singapura, sumber daya kita akan tersedot ke sana. Lebih penting investasi ke sana (FIR Kepulauan Riau dan Natuna) atau ke Papua? Ini soal prioritas," kata Alvin, kepada Katadata, Jumat (28/1).
Di sisi lain, Alvin menilai pendelegasian FIR ini tidak bisa dipisahkan dari kesepakatan perjanjian bilateral lainnya.
Termasuk di dalamnya adalah perjanjian yang dimaksud adalah pemberian ruang di dalam negeri untuk latihan pertahanan tentara Singapura dan ekstradisi.
"Namanya diplomasi internasional (ada) take and give. Itulah negara bertetangga," ucap Alvin.
Pengamat Penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan Indonesia dapat mengelola FIR di Kepulauan Riau dan Natuna lewat Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav Indonesia).
Namun, Indonesia memilih untuk mendelegasikan sebagian ruang kendali kepada Singapura. Gatot menilai pendelegasian ini merupakan langkah cerdik diplomasi dengan Singapura.
"Ini berarti Indonesia punya sesuatu yang dibutuhkan oleh Singapura dan sekarang dipinjamkan ke Singapura. Jadi, ini bisa jadi alat diplomasi jika suatu saat ada perkembangan dalam hal bilateral Indonesia-SIngapura," kata Gatot kepada Katadata, Jumat (28/1).
Gatot berujar Singapura membutuhkan ruang udara untuk mendukung industri penerbangannya.
Industri penerbangan menjadi roh dari perekonomian Singapura karena negara tersebut menjadi hub bagi pergerakan manusia dan barang di kawasan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, lanjutnya, Indonesia tidak mungkin menguasai semua ruang udara dan kehidupan Singapura.
Di samping itu, Singapura telah masuk dalam part 2 council di International Civil Aviation Organization (ICAO), sedangkan Indonesia tidak menjadi council dalam part berapapun
Gatot menjelaskan perjanjian ini belum final lantaran belum dilaporkan dan disetujui oleh ICAO. Hal itu disebabkan oleh otoritas ICAO dalam mengatur ruang udara dunia.
"Tapi, memang biasanya kalau sudah ada perjanjian (antar negara), ICAO akan menyetujui," kata Gatot.