Usut Korupsi Pesawat, Kejaksaan Periksa Komisaris Garuda Era Emirsyah

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc.
Pesawat ATR 72-600 milik maskapai penerbangan Citilink.
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
4/2/2022, 12.28 WIB

Kejaksaan Agung meminta keterangan kepada tujuh orang mantan komisaris PT Garuda Indonesia Tbk yang menjabat saat perusahaan membuat keputusan pengadaan pesawat Garuda jenis ATR 72-600. Tiga dari tujuh mantan komisaris tersebut telah memberikan keterangannya kepada penyidik.

Mereka yakni Wendy Aritonang Yazid yang menjabat komisaris pada 2012, Bambang Rumbogo dan Chris Kanter. Bambang dan Chris ini menjabat komisaris pada 2013.

Adapun empat mantan komisaris lainnya masih belum dapat memenuhi panggilan kejaksaan. Kejaksaan masih akan menimbang relevansi keterangan mereka dalam proses penyidikan. "Nanti akan kami lihat apakah masih relevan atau tidak," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Supardi di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada Kamis (3/2) malam.

Supardi mengatakan tujuh mantan komisaris Garuda yang dipanggil tersebut merupakan pejabat aktif saat Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar menjabat. Kejaksaan pun telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Emirsyah.

Selain memeriksa para komisaris di masa kepemimpinan Emirsyah, Kejaksaan akan meminta keterangan dari mantan Komisaris Garuda Peter Frans Gontha sebagai saksi. Peter yang menjadi komisaris di era setelah Emir, telah memberikan keterangan di masa penyidikan. "Kami masih memerlukan keterangan untuk penyidikan," kata Supardi.

Untuk kepentingan penyidikan, Kejaksaan juga menerima menerima dokumen pengadaan pesawat Garuda Indonesia jenis ATR 72-600 dari Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra. Dokumen itu diperlukan untuk mengusut dugaan korupsi pengadaan pesawat Garuda.

Supardi berharap tim penyidik dapat segera melakukan evaluasi gelar perkara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Garuda. Terkait dengan potensi tersangka dalam kasus ini, Supardi masih enggan berkomentar banyak. "Mudah-mudahan nanti segera kita dapat konklusi," ujar Supardi.

Komisaris Garuda Tolak Pengadaan ATR 72-600

Berdasarkan dokumen pengadilan, dewan komisaris Garuda sempat menolak pengadaan pesawat ATR 72-600 yang diajukan oleh Emirsyah. Pesawat tersebut merupakan jenis pesawat turboprop yang pertama kali diadakan di masa kepemimpinan Emirsyah pada 2012.

Dalam proses pengadaan itu, Emirsyah  dibantu Hadinoto Soedigno yang saat itu menjabat sebagai Direktur Produksi Citilink Indonesia. Hadinoto yang juga terpidana dalam kasus suap pengadaaan pesawat Garuda membantu Emirsyah dalam penyiapan analisis perencanaan bisnis dan model bisnis.  Garuda berencana memiliki 50 unit pesawat dengan rincian 25 firm purchase dan 25 options.

Pada 2013, Dirut Citilink M Arif Wibowo mewakili Citilink dan Christian Labarthe yang mewakili ATR kemudian menandatangani Letter of Intent (LoI) pengadaan ATR 72-600.

Setelah penandatanganan LoI, ATR meminta jaminan kepada Garuda. Namun, Dewan Komisaris Garuda menolak memberi persetujuan setelah Emirsyah memberikan laporannya.

Emirsyah lantas memutuskan pengoperasian ATR 72-600 diambil alih oleh Garuda lantaran mempertimbangkan kondisi keuangan Citilink yang masih belum kuat. Dewan Komisaris Garuda kemudian kembali tidak setuju dan akhirnya Emirsyah tetap menindaklanjuti pengadaan pesawat ATR 72-600.

Garuda dan ATR kemudian menandatangani kontrak jual beli atas pembelian 5 unit form ATR 72-600 dan 10 unit options ATR 72-600 pada 6 September 2013. Garuda kemudian membayar uang muka sebsar US$ 1,4 juta untuk pembelian 5 unit ATR. Adapun 16 unit lainnya disewa oleh Garuda dari Nordic Aviation Capital dengan sewa US$ 200 ribu per unit pesawat.

Belakangan diketahui Emirsyah kemudian menerima uang dari pembelian pesawat ATR 72-600 dari ATR melalui Connaught International Pte Ltd milik Soetikno Soedarjo.  Emirsyah menerima uang senilai Sin$ 1.181.763,00 dari Soetikno untuk melunasi tagihan apartemen. Kemudian berupa Sin$ 6.470 dan Sin$ 975 dalam rangka penutupan rekening atas nama Woodlake Internasional di UBS Singapura.

Uang tersebut diberikan dengan kegiatan jual beli fiktif apartemen Silversea antara Emirsyah dengan Innospace Investment Holding, Ltd. pada 14 Maret 2014.

Selain uang, Emirsyah mendapat fasilitas dari Soetikno berupa penginapan di vila No.34, vila No.12 dan vila No.35 di Bvlgari Resort Bali dengan total biaya sejumlah  Rp 69.794.797,00. Emirsyah juga mendapat jamuan makan malam di four seasons hotel; dan, Penyewaan jet pribadi Bali ke Jakarta seharga US$ 4.200,00.

Ada tiga terpidana dalam kasus suap pengadaan pesawat Garuda yang diusut KPK. Mereka yakni Emirsyah Satar, Soetikno Soedarjo dan Hadinoto Soedigno.

Putusan pengadilan tingkat kasasi memvonis Direktur Utama Emirsyah Satar dengan hukuman penjara delapan tahun. Sejak Februari 2021, Emirsyah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Seperti halnya Emirsyah, Soetikno Soedarjo saat ini menjalani hukuman dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Garuda. Soetikno mendapat hukuman yang lebih rendah, yakni enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Adapun Hadinoto meninggal saat menjalani hukuman penjara pada Desember 2021. Pada Juni 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hadinoto terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Reporter: Nuhansa Mikrefin