Menaker akan Buka Dialog dengan Buruh soal JHT Baru Cair Usia 56 Tahun

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang antara lain mengatur pencairan JHT baru dapat dilakukan saat usia pekerja mencapai 56 tahun.
Penulis: Agustiyanti
13/2/2022, 08.13 WIB

Kementerian Ketenagakerjaan memastikan penyusunan beleid yang mengatur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat dilakukan saat berusia 56 tahun sudah melalui proses dialog dengan para stakeholders. Meski demikian, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan kembali menyelenggarakan sosialisasi dan dialog dengan para pemimpin serikat pekerja atau buruh.  

"Karena terjadi pro-kontra terhadap terbitnya Permenaker ini, maka dalam waktu dekat Menaker akan melakukan dialog dan sosialisasi dengan stakeholder, terutama para pimpinan serikat pekerja/buruh," ujar Kepala Biro Humas Kemnaker Chairul Fadhly Harahap dalam siaran pers, Sabtu (12/1). 

Ia menjelaskan, penerbitan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua sebenarnya sejalan dengan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015. Dalam kedua aturan tersebut, program JHT merupakan program yang dirancang untuk persiapan masa pensiun pekerja. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila Peserta telah mengikuti program JHT   paling sedikit 10 tahun. Adapun besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30% dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah, atau 10% dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun. 

"Program JHT merupakan program perlindungan untuk jangka panjang," kata Chairul.

 

Meskipun tujuan JHT adalah untuk perlindungan di hari tua (yaitu memasuki masa pensiun), meninggal dunia, atau cacat total tetap, menurut dia, UU SJSN memberikan peluang bagi peserta yang membutuhkan untuk mengajukan klaim sebagian dari manfaat JHT-nya dalam jangka waktu tertentu. 

Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT   paling sedikit 10 tahun. Sementara besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30% dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah, atau 10% dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun di usia 56 tahun. 

"Skema ini sebenarnya untuk memberikan pelindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, maka tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai," ujarnya. 

Di sisi lain, menurut dia, pemerintah telah meluncurkan program baru sebagai bantalan untuk pekerja yang terkena PHK, yakni Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program tersebut, mencakup uang tunai, pelatihan kerja dan akses informasi pasar kerja. Para pekerja yang terkena PHK diharapkan mampu bertahan dan memiliki peluang besar untuk mendapatkan pekerjaan baru dengan adanya jaminan ini. 

Ia juga mengatakan, pemerintah juga telah meluncurkan berbagai jenis kebijakan dan program  jaminan sosial untuk pekerja dalam menghadapi berbagai resiko lainnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun. 

"Setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial untuk para buruh tersebut, maka khusus JHR dikembalikan kepada fungsinya, yakni sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tuanya," kata dia. 

 

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebelumnya menyatakan menolak aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan.  Mereka bahkan mengancam akan menggelar demonstrasi jika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 ini tak dicabut.

“Kalau tidak didengar, kami akan turun ke jalan di Kemenaker,” kata Iqbal dalam konferensi pers virtual, Sabtu (12/2).

Iqbal memberikan beberapa alasan mengapa KSPI menolak aturan ini. Pertama adalah dampak dari pandemi terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terasa. Di sisi lain, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) belum berjalan lantaran perlu aturan teknis.

“JHT itu pertahanan terakhir buruh yang kena PHK akibat pandemi,” kata Iqbal.

Faktor kedua, KSPI menganggap Kemenaker tak mematuhi arahan Jokowi. Iqbal mengatakan tahun 2015 lalu, Menaker yang saat itu dijabat Hanif Dhakiri pernah menetapkan JHT baru bisa diambil setelah 10 tahun iuran. Namun belakangan, aturan tersebut direvisi karena arahan presiden.

Faktor berikutnya adalah kebijakan ini diputuskan saat kondisi perekonomian masih belum menentu. Iqbal mengatakan jika buruh tak bisa mengambil JHT, maka kondisi ini bisa memukul ekonomi RI. “Nanti saja kalau sudah layak dan daya beli meningkat,” katanya.

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) juga memprotes aturan baru ini. Hal ini lantaran JHT adalah hak pekerja karena iuran dibayarkan oleh pegawai dan pemberi kerja. Komposisi iuran JKT saat ini dibayarkan pekerja lewat pemotongan gaji sebesar 2% dan 3,7% dibayar pemberi kerja.

“Tidak ada alasan menahan uang pekerja karena JHT adalah dana milik nasabah, bukan pemerintah,” kata Mirah dalam keterangan tertulis.