Ambisi Putin Kembalikan Kejayaan Soviet di Balik Serangan ke Ukraina

ANTARA FOTO/REUTERS/Sergei Karpukhin/cfo/17
Presiden Rusia Vladimir Putin
Penulis: Yuliawati
25/2/2022, 18.51 WIB

Para analis politik menilai langkah Rusia menyerang Ukraina berlatarbelakang ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin mengembalikan kejayaan Uni Soviet.

Putin ingin membangun kembali pengaruh Rusia di Eropa timur dengan merangkul bekas republik Soviet seperti Estonia, Latvia, Lithuania, Belarusia, Georgia, dan Ukraina.  

Putin berulangkali menyatakan penyesalannya atas keruntuhan Uni Soviet.  Dia menyebut peristiwa perpecahan gabungan negara komunis Soviet pada 1991 sebagai keruntuhan “Rusia yang bersejarah”.

"Kami berubah menjadi negara yang sama sekali berbeda. Dan apa yang telah dibangun selama 1.000 tahun sebagian besar hilang,” kata Putin, kepada kantor berita Rusia, RIA, pada Desember 2021.  Putin juga menyebut 25 juta orang Rusia di negara-negara eks Uni Soviet menjadi “terputus” dari Rusia.

Para kritikus menilai ucapan Putin tersebut menunjukkan upayanya menciptakan kembali Uni Soviet. Apalagi sebelumnya Rusia menyerang Ukraina dan menguasai Semenanjung Krimea pada 2014.   

"Serangan pada Krimea pada 2014, telah terbukti bahwa ia siap untuk menggunakan segala cara, dari diplomasi dan disinformasi hingga serangan siber dan serangan langsung," kata kolumnis Guardian, Timothy Garton Ash.

Langkah Panjang Rusia Ingin Menguasai Ukraina

Rusia sejak awal 2000-an khawatir dengan rencana Ukraina bergabung ke dalam NATO dan Uni Eropa. Rusia menganggap bergabungnya Ukraina sebagai bentuk ekspansif NATO ke wilayahnya. 

Moskow melihat meningkatnya dukungan NATO terhadap Ukraina dalam bentuk persenjataan, pelatihan dan personel sebagai ancaman bagi keamanan Rusia. 

Ukraina pertama kali menyatakan diri untuk bergabung dengan NATO pada 2008. Ketika itu Presiden Viktor Yushchenko dan Wakil Presiden Yulia Tymoshenko meminta kepada NATO untuk bergabung dengan aliansi.

Pada saat itu Presiden AS George W. Bush mendukung keanggotaan Ukraina, tetapi Prancis dan Jerman menentangnya setelah Rusia menyuarakan ketidaksenangan.

Pada April 2008, NATO menanggapi permintaan Ukraina dengan menjanjikan suatu hari Ukraina akan menjadi anggota aliansi. Namun, tidak ada kejelasan bagaimana  dan kapan keanggotaannya.

Ukraina juga menyatakan ingin bergabung dengan Uni Eropa. Namun, arah politik Ukraina berubah ketika dipimpin Presiden Viktor Yanukovych pada 2010.

Pada 2014, Yanukovych yang dianggap kaki tangan Rusia, menolak menandatangani perjanjian perjanjian perdagangan bebas Ukraina dengan Uni Eropa. Pengumuman itu memicu protes besar di seluruh Ukraina dan berhasil menggulingkan Yanukovych dari jabatannya dan dia kemudian melarikan diri ke Rusia.

Pada saat itulah, Rusia menyerang Ukraina di semenanjung Krimea. Pasukan khusus Rusia bersenjata yang didukung oleh separatis pro-Rusia menyerbu gedung-gedung utama pemerintah Ukraina, pangkalan militer dan fasilitas telekomunikasi di semenanjung Krimea.

Rusia lantas memaksa pemerintah setempat untuk mengadakan referendum memilih untuk memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia. Hasil referendum menunjukkan 97% pemilih mendukung pemisahan diri, meskipun hasilnya diperdebatkan.

Penyerangan Rusia ke Ukraina ini membuat AS dan sekutu di Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi. Mereka tidak pernah mengakui pencaplokan Rusia di Semenanjung Krimea.

UKRAINE-CRISIS (ANTARA FOTO/REUTERS/Alexey Pavlishak/FOC/dj)

Tak lama setelah itu, separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Kyiv, yang memicu pertempuran sengit selama berbulan-bulan.

Meskipun Kyiv dan Moskow menandatangani kesepakatan damai di Minsk pada 2015, yang ditengahi oleh Prancis dan Jerman, telah terjadi pelanggaran gencatan senjata berulang kali. Menurut PBB, lebih dari 3.000 kematian warga sipil terkait konflik di Ukraina timur sejak Maret 2014.

Langkah Putin mirip dengan Presiden Rusia Dimitry Medvedev yang menjabat 2008-2012. Di bawah kepemimpinannya, Rusia mengerahkan pasukan ke Georgia pada 2008.

Georgia yang merupakan bekas republik di Uni Soviet ini berbatasan dengan Rusia di sebelah utara. Rusia membantu dua wilayah memisahkan diri dari Georgia yakni Abkhazia dan Ossetia Selatan.