Wacana penundaan Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden akan merusak semangat demokrasi, yang terkandung dalam konstitusi. Sebab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengatur agar kekuasaan lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif memiliki batas.

Agenda amendemen kelima UUD 1945 yang sedang bergulir pun berpotensi menjadi pintu masuk untuk mengubah konstitusi, dan memasukkan poin yang secara prinsip memenuhi kepentingan politik untuk menunda Pemilu atau menambah masa jabatan Presiden.

Merealisasikan wacana ini akan memiliki dampak serius terhadap hukum tata negara. "Sesungguhnya diskusi penundaan Pemilu inkonstitusional, karena melanggar prinsip konstitusionalisme yang gagasannya pembatasan kekuasaan," jelas Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, kepada Katadata.co.id, Rabu (23/3).

Menurutnya, politisi yang mengajukan wacana ini memandang konstitusi sebagai teks, sehingga mereka merasa dapat mengubah UUD 1945 sesuai kehendaknya. Padahal, Pasal 37 UUD 1945 dan juga Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengatur beberapa syarat khusus untuk mengubah konstitusi.

Pertama, mesti ada usul terkait perubahan pasal pada UUD 1945, dan amendemen hanya dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selain itu, pada ayat 2 UUD 1945 dijelaskan, setiap usul perubahan harus diajukan secara tertulis, dengan menyertakan bagian yang akan diubah beserta alasannya.

Selanjutnya pada ayat 3 UUD 1945, kuorum sidang mewajibkan minimal 2/3 anggota MPR hadir. Kemudian di ayat 4 perubahan hanya dapat disetujui jika minimal 50 persen ditambah satu anggota menyatakan setuju.

"Secara aspek hukum saya kira kemungkinannya, seharusnya tidak mudah," jelas Bivitri.

Justru manuver politik yang membuatnya khawatir amendemen tetap akan dipaksakan, meskipun hal itu berarti mengedepankan interpretasi pribadi para politisi terhadap konstitusi.

"Secara politik memang apapun dimungkinkan, kalau dikatakan agenda tidak boleh ganti, tetapi siapa yang bisa mencegah apapun yang diinginkan MPR?" Tanyanya.

Jika mengacu pada rencana MPR untuk menambahkan poin mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) pada amandemen kelima UUD 1945. Menurut Bivitri, hal yang mesti diwaspadai adalah menyelipkan wacana mengembalikan fungsi MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI.

Perubahan fungsi ini dapat memenuhi wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi karena posisi eksekutif akan ditentukan MPR, sehingga semua kembali kepada kesepakatan lobi politik. "Nego seperti itu bisa saja," jelasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menjelaskan, MPR saat ini hanya fokus mengerjakan kajian terkait PPHN untuk dimasukan ke dalam amendemen kelima.

Meski begitu, Jazilul menyebut respons terhadap PPHN untuk dijadikan materi perubahan amendemen saat ini tidak terlalu kuat.

"Ketika amendemen mutlak dibutuhkan kehendak rakyat. Kalau tidak ada kehendak kuat, itu tidak mungkin dilaksanakan oleh parpol (partai politik)," ujar Jazilul dalam diskusi di Kompleks Parlemen pada Selasa (15/3).

Ia juga menjelaskan, bahwa hingga saat ini, belum ada satu pun fraksi di MPR yang mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 demi memuluskan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, atau penundaan Pemilu. 

Reporter: Aryo Widhy Wicaksono