Krisis Pasokan Pangan Dunia Bisa Picu Perang Dagang Skala Besar

ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammed Salem/WSJ/cf
Mohammed Salem Foto diambil dengan drone memperlihatkan petani Palestina memanen stroberi di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di utara Jalur Gaza, Selasa (22/12/2020).
25/5/2022, 08.56 WIB

Krisis pangan dunia saat ini mempercepat proteksionisme oleh beberapa negara. Kondisi ini bisa menambah masalah global dan menyebabkan perang dagang yang lebih luas.

Hal tersebut merupakan rangkuman pertemuan pemimpin bisnis dan pembuat kebijakan di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss. Pembicaraan terjadi ketika sejumlah negara bersiap mengamankan pasokan pangan untuk kebutuhan masing-masing.

Seorang sumber pemerintahan mengatakan India berancang-ancang membatasi ekspor gula pertama kalinya dalam enam tahun demi mencegah lonjakan harga. Sedangkan Indonesia sempat menyetop ekspor minyak sawit dan akan menghapus subsidi minyak goreng curah. 

“Ini adalah masalah besar di depan kita,” kata Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath dikutip dari Reuters pada Rabu (25/5).

Hal ini berbahaya lantaran pangan merupakan hal yang penting bagi masyarakat. Penduduk di negara-negara Sub-Sahara Afrika, misalnya, menghabiskan 40% konsumsi mereka untuk makanan.

Belum lagi kenaikan harga menimbulkan dampak lain yakni penimbunan pasokan yang bahkan dilakukan pemerintah. Gopinath mengatakan saat ini ada lebih dari 20 negara yang membatasi ekspor makanan dan pupuk. Belum lagi invasi Rusia ke Ukraina yang menambah beban pasokan pangan.

Pembicaraan mengenai proteksionisme dan menghindari perang dagang juga mendominasi WEF tahun ini. Bahkan hal tersebut juga menjadi salah satu topik pembahasan di antara negara maju yang tergabung dalam G7.

“Sangat penting bagi para pemimpin dunia untuk duduk di meja dengan tenang dan berbicara bagaimana mengelola perdagangan, pasokan pangan, dan investasi,” kata Vice Chairman of Banking, Capital Markets, and Advisory Citigroup Jay Collins.

Selain itu jumlah orang yang saat ini mengalami kelaparan bertambah dari 80 juta menjadi 276 juta pada empat atau lima tahun terakhir. Hal ini juga menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Biaya pangan, harga komoditas, dan biaya pengiriman sudah berlipat tiga sampai empat kali lipat,” kata Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia PBB David Beasley.

Pembicaraan lainnya adalah bagaimana industri makanan menjadi solusi dari perubahan iklim dan mengatasi krisis pangan. Chief Executive Officer Syngenta, Erik Frywald mencontohkan pihaknya telah mencoba untuk mencegah degradasi tanah terjadi.

Begitu pula produsen olahan daging terbesar dunia, JBS juga akan berkomitmen untuk mengolah limbah demi industri pangan yang berkelanjutan. “Cara kita berproduksi saat ini belum berkelanjutan, ini adalah tantangan besar,” kata CEO JBS Gilberto Tomazoni.