Amerika Serikat (AS) diramal akan jatuh ke jurang resesi pada tahun depan seiring tekanan inflasi yang memaksa kenaikan bunga acuan The Fed. Bila Amerika yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar dunia mengalami resesi, maka dampaknya akan dirasakan Indonesia, mulai dari pasar keuangan hingga perdagangan.
Survei Financial Times menyebut, hampir 70% dari 49 ekonom akademisi yang menyebut resesi ekonomi AS akan terjadi pada tahun depan. Bank of America (BofA) Securities juga memperkirakan hal serupa.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan tekanan inflasi yang kini mencapai rekor tertingginya dalam 40 tahun di AS memaksa Bank Sentral AS, The Fed, agresif mengerek bunga acuannya. Sayangnya, langkah The Fed tersebut melukai perekonomian yang berujung pada kemungkinan resesi ekonomi.
Resesi ini tergambarkan dari perekonomian yang turun selama dua kuartal beruntun. "Jadi, aktivitas ekonominya dalam tanda kutip dibuat resesi dulu biar inflasinya agak turun dan tidak terlalu panas," kata Riefky kepada Katadata.co.id, Senin (20/6).
Berikut dampak resesi Amerika terhadap perekonomian Indonesia:
1. Arus Modal Asing Keluar
Riefky menyebut dampak resesi Amerika terhadap Indonesa akan terasa selama proses The Fed meredam inflasi dengan menaikkan bunga. Artinya pengaruhnya mulai dirasakan selama proses AS menuju resesi.
Saat bunga acuan dikerek naik, maka pasar keuangan menghadapi tekanan berupa arus modal keluar. Hal ini sudah terlihat terutama dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang mencatat arus modal keluar secara year-to-date (ytd) Rp 96,49 triliun.
2. Rupiah Makin Melemah
Keluarnya modal asing tersebut turut menyeret nilai tukar rupiah makin melemah. Kurs garuda ditutup di level Rp 14.836 per dolar AS sore ini, atau melemah 4% secara tahun kalender. Depresiasi nilai tukar ini akan berpengaruh terhadap makin mahalnya bahan baku yang diimpor oleh produsen dan industri di dalam negeri.
Berdasarkan investing.com, nilai tukar rupiah di pasar spot terus tertekan 1,94% dalam sepekan. Adapun selama 30 hari terakhir, nilai tukar rupiah di pasar spot telah tertekan 1,25%. Sedangkan untuk setahun terakhir, nilai tukar rupiah di pasar spot pernah mencetak titik tertinggi Rp 14.823 per dolar AS.
3. Perdagangan Ekspor Berpotensi Turun
Sementara, saat resesi terjadi dan permintaan dari AS melambat, efeknya akan terlihat dari sisi ekspor RI. Tetapi, efeknya pun dinilai tidak akan signifikan pasalnya AS bukan mitra dagang terbesar RI.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai sekalipun AS bukan mitra dagang terbesar Indonesia, efeknya tetap akan terasa dari sisi perdagangan. Secara langsung, penurunan ekonomi AS menyebabkan permintaan barang dari Indonesia berkurang. Tapi ia juga mewaspadai dampaknya ke kinerja perdagangan melalui transmisi tidak langsung melalui Cina.
"Dampak tidak langsungnya misal Cina akan melakukan penyesuaian ketika permintaan dari AS menurun, penyesuaian yang dilakukan oleh Cina tersebut akan ikut mempengaruhi negara yang berdagang dengan mereka, termasuk Indonesia," kata Yusuf, saat dihubungi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia mencapai US$21,5 miliar pada Mei 2022. Jika dilihat secara bulanan, nilai tersebut menurun 21,29% (month-on-month/mom) dibanding ekspor April 2022 yang nilainya US$27,32 miliar. Berikut grafik Databoks:
4. Pasokan Minyak dari AS Potensi Turun
Selain itu, resesi ekonomi disebut bisa menurunkan produksi minyak di AS. Padahal, AS merupakan salah satu produsen besar minyak dunia. Sehingga, kondisi ini juga berisiko mengerek harga-harga komoditas.
Adapun Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah akan terus mempelajari dampak dari resesi Amerika dan Inggris.
"Kita harus waspadai terus, karena dinamika dunia kan sangat tinggi jadi seperti apa nanti (dampaknya) akan kami lihat datanya, serta bagaimana data perdagangan kita," kata Suahasil saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen, Kamis (16/6).