Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir angkat bicara soal diumumkannya lima tersangka kasus dugaan korupsi pabrik tungku peleburan besi baja PT. Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Erick mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung tersebut. Dia juga mengatakan hal ini akan mendorong terciptanya ekosistem bisnis yang sehat, terutama bagi investor yang berinvestasi.
"Ini tidak sekadar penindakan hukum, tapi bagian tak terpisahkan dari pembenahan tata kelola BUMN yang semakin baik," kata Erick dalam keterangan tertulis, Senin (18/7).
Erick juga mengatakan sinergi Kementerian BUMN dan Kejaksaan Agung dalam kasus ini adalah bukti komitmen Krakatau Steel untuk melakukan restrukturisasi total. Dia optimistis hal ini sejalan dengan kondisi perusahaan pelat merah itu yang semakin baik.
"Ini adalah momentum baik untuk meningkatkan performa," katanya.
Sedangkan Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menghormati proses yang tengah berlangsung di kejaksaan. Ia juga mengatakan kegiatan perusahaan tidak terganggu dengan penyidikan kasus ini.
"Kami berharap proses hukum ini memberikan pelajaran kita semua untuk menjadi lebih baik," katanya.
Lima orang tersangka tersebut terdiri dari Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2007 sampai dengan 2012, Fazwar Bujang; Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005 sampai dengan 2010 yang juga Deputi Direktur Proyek Strategis 2010 sampai dengan 2015, Andi Soko Setiabudi; Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012 sampai dengan 2015, Bambang Purnomo.
Lalu ada Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek BFC tahun 2011 sekaligus General Manager Proyek PT Krakatau Steel dari Juli 2013 sampai dengan Agustus 2019, Hernanto Wiryomijoyo alias Raden Hernanto; dan Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 sampai dengan 2016, Muhammad Reza.
Sebelumnya kasus ini telah naik menjadi penyidikan pada 16 Maret 2022 lalu. Kasus terjadi pada kurun waktu 2011-2019, saat Krakatau Steel membangun pabrik BFC dengan batu bara yang dianggap lebih murah daripada gas.
Proses pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang pada 31 Maret 2011. Adapun nilai kontrak dari konsorsium tersebut setelah mengalami perubahan mencapai Rp 6,9 triliun dan telah dilakukan pembayaran sebesar Rp 5,3 triliun.
Namun, proyek tersebut dihentikan pada 19 Desember 2019. Setelah dilakukan uji coba operasi, ternyata biaya produksi jauh lebih besar ketimbang harga baja di pasaran.
Pada 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil audit terhadap Krakatau Steel, dan salah satu persoalan yang disoroti adalah proyek pengadaan pabrik Blast Furnace. Dalam audit tersebut, BPK menyebut perencanaan pembangunan BFC tidak memadai. Perubahan HPS dari US$ 255 juta menjadi US$ 529 juta tidak dihitung secara keahlian.
“HPS revisi tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran bidder,” tulis BPK dalam dokumen audit yang diperoleh Katadata.co.id.