Kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10), setelah berakhirnya pertandingan Liga 1 antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya, menyisakan duka dengan ratusan suporter tewas.
Jumlah korban tewas hingga saat ini masih berbeda-beda, kepolisian mencatat jumlah korban meninggal dunia akibat tragedi ini mencapai 127 jiwa per Minggu pagi (2/10). Kementerian Kesehatan menyatakan jumlahnya mencapai 129 orang, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemerintah Kabupaten Malang, menyebut jumlahnya telah mencapai 174 korban tewas.
Awal Kericuhan
Berdasarkan kesaksian Dadang Indarto, salah satu Aremania, julukan bagi pendukung Arema FC, peristiwa ini bermula setelah dua suporter melompati pagar dan memasuki lapangan. Kedua suporter tersebut pun langsung dihalau aparat keamanan.
Ketika itu terjadi, para pemain Persebaya Surabaya telah pergi meninggalkan lapangan dengan naik kendaraan taktis barracuda milik kepolisian. Tindakan ini dilakukan karena setelah pertandingan selesai, mereka langsung dihujani botol dan gelas plastik kemasan air mineral dari arah tribun penonton.
Setelah itu, tampak beberapa Aremania turut turun ke lapangan. Namun, mereka tidak menyerang pemain maupun ofisial dari tim Persebaya. Mereka menyasar kepada pemain dan ofisial tim kesayangannya.
"Supoter turun ke lapangan tidak bermaksud menyerang pemain Persebaya, kalau melempari dengan botol Aqua iya," jelasnya kepada Katadata.co.id, Minggu (2/10).
Di mata Dadang, meski beberapa suporter memasuki lapangan, kondisi di tribun penonton tidak ricuh. Sebab suporter yang memenuhi tribun masih tenang dan beberapa pergi dengan kecepatan normal menuju pintu keluar stadion.
Namun dia tak tahu, mengapa tiba-tiba aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Kondisi ini yang pada akhirnya menimbulkan kepanikan.
"Paling parah tribun nord (utara), itu beberapa kali ditembakan gas air mata," ucap Dadang yang menyaksikan peristiwa ini dari tribun selatan.
Aremania Berdesak-desakan
Untuk menghindari pedihnya efek gas air mata, suporter pun berhamburan mencari pintu keluar. Termasuk Dadang dan beberapa rekannya sesama Aremania.
Akan tetapi, begitu dia melihat ke gerbang keluar, tidak semua pintu dalam kondisi terbuka. Hanya satu pintu di tiap gerbang yang dibuka dan dapat diakses suporter untuk keluar dari stadion.
Aksi saling impit dan desak-desakan terjadi di pintu akses keluar. Apalagi saat itu stadion dalam kondisi penuh terisi oleh suporter. "Jumlah Aremania yang begitu banyak untuk bisa menyelamatkan diri tidak mungkin bisa," ungkapnya.
Melihat kepadatan di pintu keluar tersebut, Dadang mengurungkan niatnya dan memilih berdiam diri di tribun. Sedangkan Aremania lainnya mencoba menghindari kerumunan dengan turun ke lapangan dan mencoba mencari pintu keluar lainnya.
Tetapi bukannya mendapatkan pertolongan, begitu sampai di lapangan Dadang melihat beberapa rekannya sesama Aremania justru mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian. Mereka diminta kembali ke tribun.
"Penonton turun itu setelah penembakan gas air mata. Bukan untuk menyerang polisi atau tentara, mereka menyelamatkan diri dan itu masih dikejar," katanya.
Efek dari kekerasan tersebut yang menyulut kemarahan Aremania lainnya, apalagi setelah mereka menyaksikan teman dan sesama suporter tewas. Kelompok suporter klub kebanggaan asal Malang itu lantas merusak dan membakar truk milik polisi, mobil patroli pengawal, serta mobil K-9 kepolisian.
Dadang sendiri berhasil selamat karena bergeming di tribun selatan, dan mengurangi efek gas air mata dengan cara menutupi wajah menggunakan kaosnya. "Setelah kondisi reda saya baru melompat pagar dan keluar melalui pintu 11," ucapnya.
"Setelah keluar saya melihat beberapa teman saya dalam kondisi lemas, sekarat, dan beberapa sudah tergeletak di depan pintu loket," ujar Dadang.
Ungkapan rasa kecewa Dadang sampaikan kepada aparat keamanan dan juga pengelola Stadion Kanjuruhan. Aparat keamanan yang ia nilai bereaksi berlebihan dan gagal menjaga rasa aman, serta pengelola stadion yang abai terhadap aspek keamanan suporter. "Tidak ada jalur evakuasi ketika ada bencana," terangnya.
Dadang juga meminta organisasi pengelola sepak bola di Indonesia untuk bertanggung jawab dan mau berbenah. Dia menilai salah satu alasan terjadinya kerusuhan adalah persoalan jadwal pertandingan yang terlalu malam, karena mengikuti waktu siar di televisi. "Hentikan kompetisi liga beberapa tahun ke depan, revolusi PSSI," pintanya.