Jaksa Agung Klaim 2.103 Kasus Tuntas dengan Restorative Justice

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memberikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Penulis: Ade Rosman
23/11/2022, 19.13 WIB

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melaporkan sebanyak 2.103 kasus dituntaskan Kejaksaan Agung RI (Kejagung) dengan cara restorative justice atau keadilan restoratif. Penerapan penyeleseian kasus dengan cara ini telah dilakukan sejak 2020 lalu hingga kini.

"Sejak dicanangkan pada 2020, kejaksaan telah melakukan penghentian penuntutan sebanyak 2.103 perkara," kata Burhanuddin saat rapat kerja (raker) dengan Komisi III DPR RI, Rabu (23/11).

Menurut Burhanuddin penuntasan kasus lewat restorative justice terdiri dari 230 perkara pada 2020, 422 perkara pada 2021, serta 1.451 perkara pada 2022. Saat ini telah membentuk rumah restorative justice (Rumah RJ) dan balai rehabilitasi.

 "Dalam penyelesaian perkara berdasarkan pendekatan keadilan restoratif, kejaksaan telah membentuk Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ sebanyak 1536, serta 73 balai rehabilitasi di seluruh indonesia," kata Burhanuddin.

Menanggapi paparan Jaksa Agung, Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan penerapan restorative justice harus dikembalikan pada konsep awal. Menurut Taufik posisi korban menjadi sangat penting untuk dipulihkan, serta pelaku diberi bimbingan untuk tidak mengulangi kejahatannya kembali.

"Selama ini, sering kali penegakan hukum berjalan sendiri. Oke pelakunya dihukum, tapi korban kemudian tidak mendapatkan manfaat apa-apa," kata Taufik.

Taufik berharap pendekatan ini dilakukan untuk upaya memulihkan keadaan korban. Selain itu restorative Justice juga harus dibaca dengan satu nafas dengan korektif dan rehabilitatif. Dengan begitu, ketika pendekatan Restorative Justice ini dilakukan sekaligus kita berupaya untuk memulihkan keadaan korban. 

Menurut Taufik dalam penerapannya, restorative justice juga harus bisa mendorong pelaku memahami bahwa perbuatannya salah. Jadi, meski kasus dihentikan pelaku tidak mengulangi lagi kejadian sama di kemudian hari. 

“Pelaku harus memahami bahwa perbuatan pelaku adalah tetap perbuatan salah, meskipun kasusnya dihentikan. Perbuatan pelaku bukan kita benarkan dengan menghentikan melalui restorative justice, jadi korektifnya ada,” kata Taufik.  

Reporter: Ade Rosman