DKI Jakarta menempati posisi pertama provinsi dengan potensi gangguan dan hambatan pemilu dengan klasifikasi rawan tinggi. Hal tersebut didapatkan dari hasil Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak yang dirilis Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jumat (16/12).
"IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 mencatatkan ada lima provinsi (setara 15%) yang masuk kategori kerawanan tinggi," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, saat pemaparan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), di Jakarta, Jumat (16/12).
Lolly mengatakan, berdasarkan penelitian Bawaslu tingkat IKP DKI Jakarta mencapai angka 88,95%. Tingkat kerawanan diukur dengan skor 0-100. Semakin besar angka IKP, makin tinggi tingkat kerawanan pemilu.
Di posisi kedua ada Sulawesi Utara dengan indeks 87,48%, diikuti Maluku Utara 84,86%, Jawa Barat 77,04%, dan Kalimantan Timur 77,04%. Adapula, sebanyak 21 provinsi lain atau setara 62% dari total provinsi masuk dalam tingkat kerawanan sedang.
Sedangkan 8 provinsi atau 24% lainnya, tergolong provinsi dengan kerawanan rendah. Provinsi Bengkulu menjadi provinsi yang dianggap paling tidak rawan selama pemilu diikuti Sulawesi Selatan.
Hasil tersebut didapat dari hasil konstruksi 61 indikator, yang mana setiap indikator mengukur jumlah kejadian dan tingkat kejadian. Nilai setiap indikator dihitung dengan menjumlahkan event kejadian yang dibobot dengan tingkat kejadian. Bawaslu mengukur indeks kerawanan pemilu dengan menggunakan 61 indikator penilaian.
Dari indikator yang diteliti, terlihat aspek penyelenggaraan pemilu menempati posisi paling tinggi yang mempengaruhi kerawanan pemilu. Bila dipersentase mencapai angka 54,27%, diikuti oleh aspek konteks sosial politik dengan skor 46,55%. Sedangkan aspek kontestasi meraih dengan skor 40,75% diikuti persoalan partisipasi politik dengan skor 17, 23%.
Lebih jauh, dalam rilis tersebut, Bawaslu juga memaparkan adanya beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan pemilu. Beberapa di antaranya netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan tahapan di provinsi baru, dan potensi polarisasi masyarakat. Penyelenggara pemilu juga diminta perlu melakukan mitigasi dampak penggunaan media sosial, dan pemenuhan hak memilih dan dipilih.