Pakar Hukum Kritik Kegentingan Memaksa dalam Perppu Ciptaker

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.
Massa dari Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) bersama mahasiswa berunjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (21/5/2022).
3/1/2023, 07.09 WIB

Pakar Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia atau STHI Jentera, Bivitri Susanti, menilai alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja tidak sesuai dengan syarat seperti yang disebutkan Undang-undang Dasar atau UUD.

Bivitri memaparkan, konstruksi konstitusional Perppu berbeda dengan perundang-undangan seperti biasanya yang terdapat dalam pasal 20 Undang-undang Dasar (UUD). Sedangkan, Perppu diletakkan secara terpisah di pasal 22 UUD.

Ia mengatakan, Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Penerbitan Perppu harus memenuhi ihwal kegentingan memaksa.

Sementara pemerintah mengatakan jika salah satu alasan penerbitan Perppu adalah terdampak perang Rusia-Ukraina. Menurut Bivitri, alasan  tersebut tidak termasuk dalam ihwal kegentingan memaksa yang dikonstruksikan oleh UUD. 

"Karena yang dibayangkan oleh pembuat UUD pada waktu itu, ketika membuat pasal 22 adalah kegentingannya serius sekali gitu. Ibaratnya itu kalau undang-undangnya gak ada, maka besok tuh Indonesia bangkrut misalnya, atau Indonesia musnah, misalnya gitu," kata Bivitri, Senin (2/1).

Seharusnya Dibuat UU Kembali

Bivitri tidak menampik bahwa Indonesia terkena dampak perang Rusia-Ukraina. Namun demikian, ia mengatakan hal tersebut belum masuk ke dalam satu kategori yang di dalam hukum tata negara dinamakan 'hukum tata negara darurat'.

Lebih jauh, Bivitri menggambarkan yang masuk dalam kategori tersebut apabila situasinya bencana alam atau perang yang luar biasa. Sedangkan, perang Rusia-Ukraina dampaknya tidak langsung dirasakan oleh Indonesia.

"Dengan adanya inflasi, krisis ekonomi, bukan berarti kan itu misalnya ya Perppu keluar tanggal 30, kalau gak ada keluar Perppu tanggal 30, tanggal 31 Desember Indonesia bangkrut, kan enggak. Pemerintah masih bisa memfasilitasi pesta-pesta tahun baru kok," katanya.

Bivitri menilai seharusnya pemerintah membuat Undang-undang kembali yang tahapannya sesuai pasal 20 UUD. Pembuatan UU tersebut harus mengundang DPR ketika masa reses selesai lebih dari sepekan lagi. 

"Mengenai putusan MK 135 Tahun 2009, yang menegaskan kegentingan memaksa tersebut bilamana ada kekosongan hukum yang sangat harus diatasi secepat mungkin," ujarnya.

Dipengaruhi Situasi Global

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan alasan pemerintah memilih mengeluarkan Perppu dibandingkan peraturan lainnya. Menurut dia, ada situasi global dan nasional yang memerlukan langkah-langkah strategis.

Dia mengatakan, Putusan MK menyebutkan bahwa pemerintah tak boleh melakukan langkah stategis berdasar UU Ciptaker yg dinyatakan inkonstitusional bersyarat. "Maka dgn dikeluarkannya Perppu hari ini, sesuai dengan hukum, UU Ciptaker yang divonis inkonstitusional bersyarat sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah Perppu No. 2 Tahun 2022 yang merupakan revisi atas UU Ciptaker yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat," ujarnya.

Dengan demikian, menurut Mahfud, putusan MK sudah dipenuhi.  Obyek putusannya, yaitu UU Cipta Kerja, sudah diganti dengan Perppu yang setingkat dengan UU.

"Dalam waktu lebih cepat dua tahun dari tenggat yang ditentukan oleh vonis MK. Sekarang pemerintah susdah boleh melakukan langkah-langkah yang strategis berdasarkan Perppu No. 2 Tahun 2022,' kata dia.

Menurut Mahfud, UU Ciptaker sangat mendesak karena menanggapi perkembangan geopolitik, seperti Perang Rusia-Ukraina, ancaman inflasi, stagflasi, dan perlunya kepastian bagi investor.  "Berdasar teori manapun, penentuan keadaan genting itu merupakan hak subyektif Presiden yang nanti akan dijelaskan dalam proses legislasi pada masa sidang DPR berikutnya," ujarnya.



Reporter: Ade Rosman