Alasan Pemerintah Pilih Jalur Non-Yudisial Tuntaskan Pelanggaran HAM

ANTARA FOTO/Basri Marzuki/YU
Sejumlah peserta mengikuti permainan pada Pelatihan Pendampingan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (21/12/2022).
Penulis: Andi M. Arief
12/1/2023, 19.13 WIB

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan belum akan menyelesaikan 11 pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM berat dalam waktu dekat. Hal tersebut dilakukan agar seluruh pelanggar HAM berat dapat berhasil dijerat oleh hukum negara.

Menurut Mahfud, saat ini pelanggar HAM berat yang sudah diadili telah dibebaskan oleh pengadilan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan standar pembuktian pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan Agung.

"Empat pelanggaran HAM berat sudah diadili dan dibebaskan semua terdakwanya oleh pengadilan, 35 orang loh dibebaskan. Kasus pelanggaran HAM Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai bebas semua," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (12/1).

Mahfud mengatakan Komnas HAM dan masyarakat sipil pernah memaksa agar pelanggaran HAM berat diadili di Meja Hijau pada 2005-2006. Namun pihak kejaksaan tidak bisa membawa kasus tersebut lantaran perbedaan standar pembuktian tersebut.

Pada saat yang sama, DPR tidak berani memutuskan perkara pelanggaran HAM berat karena dinilai minim bukti. Oleh karena itu Mahfud mengusulkan agar saat ini DPR menggunakan salah satu klausul dalam Undang-Undang No. 26-2000 tentang Pengadilan HAM.

Secara khusus, Mahfud menyarankan para legislator untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc yang tertuang dalam Pasal 43 UU No. 26-2000. Dalam pasal tersebut, pengadilan HAM ad hoc berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Kalau mau dipaksakan juga penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan jalur hukum, biar DPR bicara lagi bagaimana cara bawanya ini," kata Mahfud.

Lebih jauh, Mahfud mengatakan pemerintah memilih menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui jalur non-hukum pada tahap pertama. Pemerintah menilai jalur tersebut lebih disukai oleh masyarakat.

"Penyelesaian non-yudisial ini kami jalan, tidak tergantung pada perdebatan yang menurut saya tidak pernah selesai," kata Mahfud.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan keputusan penyelesaian melalui jalur non-yudisial merupakan hasil dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau Tim PPHAM. Tim beranggotakan akademis dan praktisi yang dinilai Yasonna kredibel dalam penanganan kasus pelanggaran HAM.  

"Ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan Pro Justitia (demi hukum), tapi itu tak berarti ini kami tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Sekarang kami non judisial dulu," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (12/1).

Yasonna menyampaikan pemerintah sangat ingin menyelesaikan seluruh pelanggaran HAM berat di dalam negeri. Namun, ia belum bisa menjelaskan upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat tersebut secara hukum.



Reporter: Andi M. Arief