Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan menyatakan akan mengadakan pelatihan tentang Hak Asasi Manusia atau HAM. Hal tersebut merupakan salah satu rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau PPHAM kepada Presiden Joko Widodo agar menghindari pelanggaran HAM berat di masa depan.
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan setiap anggota Kepolisian dan TNI akan diberikan pendidikan atau pelatihan terkait HAM. Menurutnya, kegiatan tersebut akan melibatkan dunia internasional.
"Dunia internasional akan menatar Polri dan TNI tentang HAM, terutama dalam hukum humaniter yang sekarang banyak berkembang di dunia internasional. Dan presiden setuju kemarin," kata Mahfud dalam keterangan pers virtual, Kamis (12/1).
Mahfud menyampaikan akan berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian dan Panglima TNI terkait kurikulum dan bentuk pendidikan HAM tersebut. Mahfud bahkan berencana menjadikan pendidikan HAM tersebut sebagai syarat untuk menduduki jabatan tertentu maupun mendapatkan tugas tertentu.
Di sisi lain, Mahfud menilai tidak semua pelanggaran HAM dilakukan oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, banyak pejabat sipil di daerah atau pusat yang melakukan pelanggaran HAM berat.
Akan tetapi, Presiden Jokowi menginstruksikan secara khusus pendidikan HAM dilakukan oleh TNI dan Polri lantaran menjadi rekomendasi Tim PPHAM. Namun, Mahfud menyampaikan bahwa pemerintah akan menggodok tata kelola pemerintahan yang bagus agar pelanggaran HAM berat tidak dilakukan oleh pejabat sipil.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyatakan komitmen untuk menyelesaikan 11 kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non-hukum pada tahap pertama. Menurut Yasonna, kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada belum bisa diselesaikan melalui jalur hukum.
Menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan keputusan penyelesaian melalui jalur non-yudisial merupakan hasil dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau Tim PPHAM. Tim beranggotakan akademis dan praktisi yang dinilai Yasonna kredibel dalam penanganan kasus pelanggaran HAM.
"Ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan Pro Justitia (demi hukum), tapi itu tak berarti ini kami tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Sekarang kami non judisial dulu," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (12/1).
Yasonna menyampaikan pemerintah sangat ingin menyelesaikan seluruh pelanggaran HAM berat di dalam negeri. Namun ia belum bisa menjelaskan upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat tersebut secara hukum.
"Tergantung data dan bukti-bukti yang ada," ujar Yasonna.
Berdasarkan hasil survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bekerjasama dengan Litbang Kompas, sebanyak 27,8% responden mengatakan pernah mengalami, mendengar, ataupun menyaksikan perbedaan perlakuan atau diskriminasi saat berhadapan dengan aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat.
Diskriminasi merupakan sikap membedakan secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan tertentu. Bentuk diskriminasi yang dialami responden beragam. Proses dipersulit jadi bentuk diskriminasi yang paling banyak dialami. Itu terbukti dari jawaban 63,8% responden.
Proses penanganan kasus yang lambat juga banyak dialami oleh responden sebagai bentuk diskriminasi. Sebanyak 52,4% mengaku pernah mengalami bentuk diskriminasi tersebut.