MK Tolak Uji Materi Nikah Beda Agama, Ini 5 Pertimbangan Hakim

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams(kiri) memimpin sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/1/2023).
Penulis: Ira Guslina Sufa
31/1/2023, 16.34 WIB

Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.

3. Kebebasan Beragama 

Hakim Suhartoyo memiliki pertimbangan berbeda dalam melihat gugatan mengenai nikah beda agama. Menurut dia, dasar hukum sahnya perkawinan dan kebebasan/kemerdekaan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing diatur dalam ketentuan norma sebagai berikut.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikutnya, Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi-tiap-tiap perkawinan dicatat menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, Hakim Suhartoyo mengatakan mengacu pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa yang menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara penganut sekularisme. Sedangkan pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

"Ketiga dasar hukum tersebut menjadi bentuk konkret negara di dalam memaknai hakikat perkawinan dan juga negara di dalam menjamin kebebasan masyarakat dalam memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing," kata Suhartoyo.

4. Pluralitas Beragama

Lebih jauh hakim Suhartoyo mengatakan bahwa dasar hukum kebebasan beragama di Indonesia secara filosofi dibangun karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara plural. Indonesia memiliki keragaman suku, budaya, ras, agama dan kepercayaan. 

Berkaitan dengan norma yang diuji dalam perkara a quo, keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu regulasi yang sama berpotensi saling melemahkan. Bahkan dia menilai keberlakuan norma hukum dan norma agama secara aktual maupun potensial bertentangan.

5. Pola Kebiasaan 

Hakim Daniel Yusmic P. Foekh juga memiliki pendapat berbeda mengenai keputusan soal nikah beda agama. Ia berkeyakinan persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan datang.

Daniel menyebut,  terdapat beberapa pola yang warga negara lakukan untuk melakukan perkawinan beda agama. Pertama, melakukan perkawinan di luar negeri. Ada juga motif  salah satu mempelai dari pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama untuk sementara berpindah agama mengikuti agama pasangannya.

Pola ketiga adalah melangsungkan perkawinan sebanyak dua kali dimana perkawinan pertama, misalnya, mengikuti agama calon suaminya dan setelah itu menikah lagi (perkawinan kedua) menurut agama dari istrinya atau sebaliknya.

"Ketiga pola tersebut di satu sisi dianggap semacam bentuk penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama, namun di sisi yang lain merupakan langkah 'terobosan' sendiri dari pasangan calon perkawinan yang beda agama karena ketiadaan hukum perkawinan beda agama," jelas dia.

Halaman:
Reporter: Antara