Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyerukan kepada media-media di Indonesia untuk membuka diri terhadap model bisnis baru yang inovatif.

Anggota Majelis Etik AMSI Metta Dharmasaputra mengatakan saat ini pers di seluruh dunia menghadapi tantangan kualitas jurnalisme dan model bisnis. Kondisi ini terutama dipicu oleh dominasi platform global di jalur distribusi produk jurnalisme. Akibatnya, media cenderung memproduksi berita clickbait karena sangat bergantung pada trafik untuk mendulang pendapatan.

“Pada akhirnya keberadaan platfom seperti ini tidak bisa kita tolak,” katanya, dalam diskusi bertajuk ‘Mau Dibawa Ke mana Industri Pers Kita?’, Sabtu (4/2).

Menurut Metta, media tidak bisa lagi bergantung pada satu sumber pendapatan saja. Ia mencontohkan media Inggris The Financial Times misalnya, kini sudah merambah ke bisnis konsultan. Beberapa model bisnis media yang bisa menjadi pilihan misalnya di sektor riset, event, donasi publik, hingga aktivasi pendanaan dari lembaga funding.

Metta menuturkan tantangan kualitas jurnalisme dan model bisnis tidak hanya unik terjadi di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Ia menyebut kondisi ini bahkan juga menjadi kekhawatiran dua jurnalis penerima Nobel, Maria Ressa dan Dmitry Muratov. Saat menerima Nobel, keduanya merilis 10 Seruan Aksi kepada pemerintah di seluruh dunia untuk melindungi pers.

Metta menyitir salah satu seruan itu berupa anjuran larangan terhadap surveilance ads. Platform ini memungkinkan pengiklan untuk melakukan personalisasi publisitas berdasarkan perilaku pembaca. Akibatnya, Metta menyebut terjadi polarisasi karena setiap individu hanya memperoleh informasi yang sesuai dengan perilakunya.

Di sisi lain, AMSI juga meminta pemerintah membuat regulasi terhadap influencer yang kini juga berperan besar mendistribusikan informasi. Metta menilai regulasi ini penting untuk menciptakan lapangan bermain yang sama (level playing field) di industri media.

Metta yang juga menjadi CEO Katadata ini menyebut media memproduksi berita dengan tata cara yang lebih rumit dan memakan biaya. Ini berbeda dengan para influencer yang lebih longgar dalam memproduksi dan mendistribusikan informasi.

Metta melanjutkan salah satu regulasi yang juga penting diperjuangkan adalah hak cipta jurnalistik. Ini bisa menjadi semacam valuasi bagi media yang sudah susah payah memproduksi berita.

“Kemudian nanti yang akan dituntut adalah transparansi. Seberapa besar nilai berita yang diproduksi tersebut?,” ujarnya.

Regulasi Hak Cipta

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong mengatakan akar masalah pers saat ini adalah ekosistem bisnis yang tidak setara dan dominatif. Dalam hal ini, platform misalnya menciptakan model bisnis di mana berita yang memperoleh klik tinggi akan mendapatkan kompensasi besar. Akibatnya banyak media tergoda membuat berita clickbait yang menurunkan kualitas jurnalisme.

“Dari sudut pandang pemerintah kami sepakat kalau pers memang sedang dalam kondisi darurat,” ujarnya.

Salah satu upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini dengan menerbitkan regulasi . Kementerian Kominfo misalnya, sudah memasukkan rancangan Peraturan Presiden tentang hak cipta publisher. Saat ini Usman menuturkan pihaknya sedang menanti respons Istana untuk memberikan izin prakarsa kepada Kemkominfo guna membahas draf regulasi lebih detil.

Usman menuturkan sebetulnya platform yang beroperasi di Indonesia sudah diatur lewat banyak regulasi. Mulai dari undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, sampai kesepakatan moderasi konten.

“Pers hanya diatur lewat undang-undang dan peraturan Dewan Pers karena kita ingin menjamin kebebasan pers. Hanya saja, pers diikat oleh kode etik yang mungkin tidak dimiliki oleh platform,” ujarnya.

Reporter: Rezza Aji Pratama