Menkes Jawab Protes PKS dan Demokrat Soal Poin Revisi RUU Kesehatan

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) berbicara dengan Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi (kanan) di sela rapat kerja bersama Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
20/6/2023, 16.05 WIB

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penghapusan alokasi wajib atau mandatory spending dalam Revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah melalui diskusi panjang.

Budi menekankan penghapusan mandatory spending tidak akan menghilangkan jaminan kesehatan oleh negara ke masyarakat. Ia menilai pengaturan terkait pembuatan program kesehatan lebih penting dibandingkan sekadar alokasi belanja. Pasalnya, implementasi mandatory spending yang diatur UU lama tidak efektif dan cenderung tidak dibelanjakan untuk kesehatan.

"Kalau programnya tidak dibuat, tidak dipersiapkan rencana belanjanya, akibatnya dana itu disalurkan untuk hal-hal yang tidak produktif," kata Budi di Istana Wakil Presiden, Selasa (20/6).

Budi mengatakan alasan lain penghapusan mandatory spending adalah fleksibilitas anggaran negara dalam mengikuti arah kebijakan pemerintah. Budi mencontohkan fokus Presiden Joko Widodo kepada pembangunan infrastruktur.

Budi berpendapat alokasi wajib itu dapat mengganggu sasaran pemerintahan selanjutnya. Jika pemerintah ingin menambah anggaran negara senilai Rp 2.000 triliun untuk infrastruktur, anggaran yang benar-benar bisa dipakai hanya Rp 1.800 triliun karena mandatory spending kesehatan diatur misalnya 10 persen.

Walau demikian, Budi menekankan negara akan tetap hadir dalam menjamin kesehatan untuk masyarakat. Terlebih, menurutnya, anggaran yang dapat diserap oleh sektor kesehatan dapat lebih dari 10 persen.

Menurutnya, hal tersebut dapat terjadi dengan adanya program yang jelas. Oleh karena itu, salah satu inovasi dalam Draf RUU Kesehatan adalah definisi Rencana Induk Kesehatan atau RIK.

TIK bisa mengintegrasikan seluruh sumber keuangan kesehatan, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan BPJS Kesehatan. Budi mengatakan seluruh sumber keuangan kesehatan saat ini belum terintegrasi.

"Sumber keuangan kesehatan jadi terintegrasi dan kemungkinan bisa lebih besar dari mandatory spending yang 5 persen," kata Budi.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX Fraksi PKS Netty Prasetiyani meminta pemerintah untuk memasukkan mandatory spending untuk kesehatan Revisi Undang-Undang Kesehatan. 

Seperti diketahui, saat ini pemerintah wajib mengalokasikan setidaknya 5 persen dari total anggaran negara tiap tahunnya untuk kesehatan. Netty berpendapat mandatory spending kesehatan penting, khususnya dalam melewati masa pandemi.

"Melalui sidang terhormat ini, saya ingin mengingatkan bahwa kesehatan adalah amanat konstitusi yang tidak dapat dibantah, harus kita wujudkan," kata Netty dalam Sidang Paripurna, Selasa (20/6).

Sedangkan Anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham menilai RUU Kesehatan tersebut terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis, tidak kesehatan masyarakat. Pasalnya, RUU tersebut menghilangkan pengeluaran wajib negara di bidang kesehatan. 

Selain itu, Aliyah menilai pembahasan Draf RUU Kesehatan yang akan dibawa ke Rapat Paripurna terlalu cepat. Pasalnya, beleid tersebut menghilangkan dan merangkum 11 undang-undang tentang kesehatan.

Jika ada ruang dan waktu yang lebih panjang, kami meyakini RUU ini dapat lebih komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas," kata Aliyah pada rapat Komisi IX, Senin (19/6).

Reporter: Andi M. Arief