Revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan belum juga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terbaru, poin mengenai alokasi wajib atau mandatory spending dalam revisi UU tersebut menjadi perdebatan karena dihapus.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Saleh Partaonan Daulay mengatakan Komisi IX tidak menghapus pasal terkait alokasi wajib. Pasalnya, alokasi wajib merupakan usulan DPR untuk dimasukkan.
Saleh mengatakan pemerintah meminta legislator agar tidak ada pasal terkait alokasi wajib dalam RUU Kesehatan. Dalam draf RUU Kesehatan sebelum pembahasan tingkat I, alokasi wajib tertuang dalam pasal 420.
"Dalam perjalanannya, pemerintah keberatan dengan limitasi seperti pasal alokasi wajib. Lalu, mereka mengusulkan untuk dihapus," kata Saleh kepada Katadata.co.id, Jumat (23/6).
Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Melkiades Laka Lena melaporkan hasil pembahasan tingkat pertama membuahkan Draf RUU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab yang berisi 458 pasal. Adapun, RUU tersebut akan menghapus 11 Undang-Undang yang mengatur kesehatan.
Seperti diketahui, Pasal 171 UU Kesehatan mengatur pemerintah pusat wajib mengalokasikan anggaran kesehatan setidaknya 5 persen dari total anggaran di luar gaji pegawai. Sementara itu, anggaran yang wajib disisihkan pemerintah daerah adalah 10 persen di luar gaji pegawai.
Pada pembahasan Draf RUU Kesehatan tingkat pertama, mandatory spending pemerintah pusat naik menjadi 10 persen, sama dengan pemerintah daerah. Hal tersebut termuat dalam Pasal 420.
Melkiades mengatakan pasal alokasi wajib membahayakan moral pemerintah daerah. Ia menjelaskan alokasi wajib membuat pemerintah daerah lebih fokus pada pemenuhan besaran anggaran kesehatan dibandingkan indikator kinerja.
Alhasil, capaian pembangunan kesehatan tidak jelas dan tidak bersinergi dengan pemerintah tingkat lain. "Lebih baik mematok sasaran yang akan dicapai dengan memperkuat perencanaan program berbasis kinerja," kata Melkiades kepada Katadata.co.id.
Melkiades mengatakan sasaran tersebut dapat ditentukan dengan membentuk indikator kesehatan dalam jangka menengah. Dengan demikian, pembangunan bidang kesehatan dinilai dapat lebih tepat sasaran dan terukur.
Makanya DPR mengabulkan usulan pasal tentang Rencana Induk Bidang Kesehatan atau RIBK. Melkiades berpendapat pasal tersebut dapat menjadi acuan pembuatan perencanaan program kesehatan secara holistik.
Sedangkan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril belum merespons pertanyaan Katadata.co.id mengenai penghapusan mandatory spending. Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beberapa hari lalu mengatakan penghapusan ini tidak akan menghilangkan jaminan kesehatan oleh negara ke masyarakat.
Budi menilai pengaturan pembuatan program kesehatan lebih penting dibandingkan mematok kegiatan berdasarkan mandatory spending. Pasalnya, implementasi penganggaran wajib yang diatur UU Kesehatan tidak efektif dan cenderung tidak dibelanjakan untuk kebutuhan kesehatan
"Kalau programnya tidak dibuat, tidak dipersiapkan rencana belanjanya, akibatnya dana itu disalurkan untuk hal-hal yang tidak produktif," kata Budi di Istana Wakil Presiden, Selasa (20/6).