Pemerintah akan memulai seremoni Penyelesaian Korban Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial pada pekan depan. Hal tersebut akan dilakukan di Kabupaten Pidie, DI Aceh oleh Presiden Joko Widodo.
Seremoni dimulainya penanganan korban HAM berat secara non-yudisial tersebut akan dilakukan di Rumoh Geudong. Adapun, acara akan digelar pada Selasa (27/6).
"Secara bersamaan juga mulai dilakukan pemulihan HAM pada wilayah-wilayah lain dari 12 pelanggaran berat yang direkomendasikan Komisi Nasional HAM," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di kantornya, Jumat (23/6).
Mahfud menjelaskan salah satu alasan pemilihan DI Aceh sebagai titik awal dimulainya acara adalah jumlah pelanggaran HAM berat di provinsi tersebut. Mahfud mencatat setidaknya ada tiga pelanggaran HAM berat yang terjadi di Serambi Makkah.
Lokasi lain yang muncul dalam pembahasan untuk kick off penanganan pada korban HAM berat adalah Papua. Namun Mahfud menceritakan mayoritas anggota rapat bersikeras kick off ajang tersebut dilakukan di DI Aceh.
Ketiga pelanggaran HAM berat di DI Aceh adalah Pelanggaran HAM Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989, Peristiwa Simpang KKA 1999, dan Pelanggaran HAM Jambo Keupok 2003.
Peristiwa Rumoh Geudong merupakan peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI pada 1989 hingga 1998. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah rumah tradisional di Desa Bili, kabupaten Pidie, yang dijadikan sebagai markas TNI.
Saat itu, pasukan TNI memiliki misi memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang ingin Aceh memisahkan diri dari Indonesia. Saat menjalankan misi tersebut, tidak sedikit pasukan TNI yang melakukan kekerasan seperti penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat yang diduga anggota GAM.
Konflik berdarah di Aceh terus bergulir. Pada 3 Mei 1999 kembali terjadi kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM pada warga sipil. Kejadian puncak terjadi Simpang KKA (Simpang Kraft) yang juga dikenal masyarakat sebagai Tragedi Krueng Geukueh atau Insiden Dewantara.
Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa Simpang KKA Aceh bermula saat warga Dusun Uleetutu, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara menggelar peringatan 1 Muharam pada 1 Mei 1999.
Dalam kegiatan tersebut terdapat dakwah islam yang dinilai berisi provokasi. Esoknya aparat keamanan menyisir desa dan menangkap masyarakat yang dianggap turut terlibat.
Interogasi disertai kekerasan itu berakhir dengan terjadinya pelanggaran HAM. Komnas HAM mencatat insiden itu menyebabkan sedikitnya 23 orang warga meninggal dan 30 korban luka.
Pelanggaran HAM ketiga terjadi di Desa Jambo Keupok. Tindakan represif dari aparat bermula dari dugaan bahwa Desa Jambo Keupok merupakan tempat bersembunyinya para aktivis GAM.
Dalam operasi penyisiran ke desa, anggota TNI Para Komando bersama Satuan Gabungan Intelijen melakukan tindak kekerasan. Aksi represif itu menyebabkan terjadi penangkapan, penyiksaan dan terbunuhnya 16 warga sipil.
Mereka tewas dengan cara yang tragis seperti dibakar hidup-hidup, ditembak dan disiksa. Lima orang lain dilaporkan mengalami luka akibat kekerasan.