Jokowi Ungkap Tantangan Bongkar Kasus HAM Berat: Buktinya Harus Kuat

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Kepala BPS Margo Yuwono saat Pencanangan Pelaksanaan Sensus Pertanian Tahun 2023 di Istana Negara, Senin (15/5/2023).
27/6/2023, 14.34 WIB

Presiden Joko Widodo mendorong penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi juga mengatakan penyelesaian tersebut harus melibatkan beberapa pihak.

Jokowi mengatakan penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat harus dimulai dari laporan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Setelah itu, laporan tersebut harus disetujui oleh DPR sebelum proses hukum dapat berjalan.

"Langkah yudisial itu apabila bukti-buktinya kuat," kata Jokowi dalam saluran resmi Sekretariat Presiden, Selasa (27/6).

Ia juga menjanjikan penyelesaian hukum akan terus berjalan. Namun di sisi lain, penyelesaian non yudisial kepada korban pelanggaran HAM berat juga perlu dilakukan.

"Saya kira penyelesaian yudisial dan non-yudisial bisa berjalan, tapi kami ingin yang non-yudisial dulu yang bisa bergerak," kata Jokowi.

AKSI KAMISAN KE-770 (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/tom.)

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu selalu gagal. Buktinya, empat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu gagal dibuktikan di persidangan dan akhirnya membebaskan 35 tersangka.

Mahfud menjelaskan hal tersebut disebabkan oleh sulitnya membuktikan pelanggaran HAM berat dengan hukum acara pidana yang berlaku sampai saat ini.

Mahfud mengatakan Komnas HAM dan masyarakat sipil pernah memaksa agar pelanggaran HAM berat diadili di Meja Hijau pada 2005-2006. Namun pihak kejaksaan tidak bisa membawa kasus tersebut lantaran perbedaan standar pembuktian tersebut.

Pada saat yang sama, DPR tidak berani memutuskan perkara pelanggaran HAM berat tersebut karena dinilai minim bukti. Oleh karena itu Mahfud mengusulkan agar saat ini DPR menggunakan salah satu klausul dalam Undang-Undang No. 26-2000 tentang Pengadilan HAM.

Mahfud menyarankan para legislator untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc yang tertuang dalam Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000. Dalam pasal tersebut, pengadilan HAM ad hoc berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Kalau mau dipaksakan juga penyelesaian pelanggaran HAM berat dengna jalur hukum, biar DPR bicara lagi bagaimana cara bawanya ini," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (12/1).

Reporter: Andi M. Arief