Pakar Nilai Revisi Usia Capres Politis, Tak Perlu Lewat Uji Materi MK

Arief Kamaludin | Katadata
Paslon 01, Joko Widodo dan Kh Ma'ruf Amin saat Debat Capres I 2019 yang diselenggarakan KPU Pusat di Jakarta, Kamis, (17/1/2019)
Penulis: Ade Rosman
3/8/2023, 14.44 WIB

Uji materi  Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu soal pasal usia minimal calon presiden dan wakil presiden bergulir di Mahkamah Konstitusi. Uji materi itu menuai pro dan kontra dari berbagai kelompok. 

Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan pengubahan batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Undang-undang Pemilu dari 40 tahun menjadi 35 tahun tak memiliki urgensi yang mendesak. Bahkan, Feri menilai ada motif lain di balik uji materi lantaran waktunya berdekatan dengan masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. lain di balik pengajuan uji materi itu. 

“Tentu saja ada nuansa politik yang sangat kuat ya dengan upaya melakukan pengujian terhadap batas usia pencalonan ini,” ujar Feri saat dihubungi, Kamis (3/8). 

Ia berharap MK bisa lebih jernih dalam menangani uji materi dan tidak terpengaruh dengan kepentingan kelompok tertentu. Menurut Feri persoalan usia calon presiden dan wakil presiden seharusnya dapat dibahas secara lebih demokratis tanpa melalui uji materi di MK. 

Cara yang demokratis menurut Feri dapat dilakukan melalui revisi Undang-Undang Pemilu di Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan wacana mengenai pentingnya perubahan batas usia bisa disampaikan secara terbuka sebagai materi kampanye yang akan diperjuangkan saat terpilih nanti. 

“Tidak menempuh proses yang sangat singkat, yang menurut saya nuansa kepentingan politik dan kepentingan individualnya sangat tinggi,” ujar Feri lagi. 

Lebih jauh Feri menilai revisi usia calon presiden dan calon wakil presiden sebenarnya merupakan agenda politik bersama yang dapat dibicarakan dengan matang. Hal itu berbeda bila perubahan bersifat substantif dan mendesak karena bertentangan secara nyata dengan Undang Undang Dasar 1945. Sedangkan perkara usia capres dan cawapres menurut Feri tidak dibahasakan dengan luas dalam konstitusi. 

“Saya pikir tidak ada kebutuhan mendesak atau urgentnya ketentuan ini diubah. Bahkan kalau ketentuan ini diubah tentu saja akan ada hak konstitusional orang lain yg terlanggar,” ujar Feri. 

Pemerintah dan DPR Beri Sinyal Setuju 

Dalam sidang dengan agenda mendengarkan pandangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung  Selasa (1/8) perwakilan dari masing-masing pihak memberi sinyal setuju. Wakil Ketua Komisi Hukum Habiburokhman yang menjadi perwakilan DPR mengatakan terdapat situasi kekinian yang harus menjadi perhatian.

Ia menyebut merujuk data Badan Pusat Statistik diperkirakan pada 2020 hingga 2030 Indonesia memiliki bonus demografi yang membuat usia produktif mencapai dua kali lipat dari jumlah usia penduduk. Habiburokhman menjelaskan keberadaan penduduk usia produktif berperan serta dalam pembangunan nasional. Peran itu menurut dia dapat diwujudkan dengan menjadi pemimpin nasional lewat jalur presiden maupun wakil presiden. 

Senada dengan Habiburokhman, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar-Lembaga dari Kementerian Dalam Negeri, Togap Simangunsong mengatakan, batas usia tak diatur di UUD 1945.  Lebih jauh ia menjelaskan, pengaturan batas usia dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pasal yang diujikan sifatnya open legal policy bagi pembentuk Undang-undang. Dengan begitu, aturan yang demikian dapat saja berubah sesuai kebutuhan yang berkembang dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

"Termasuk pula dalam menghadapi perkembangan dinamika batasan usia capres cawapres, karena hal ini merupakan suatu yang bersifat adaptif dan fleksibel sesuai kebutuhan ketatanegaraan," kata Togap.

Ia pun mengatakan, syarat  dalam pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan dari DPR dan pemerintah, sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Namun ia mengingatkan penentuan harus memperhatikan aspek serta dinamika yang berkembang dalam pemerintahan serta berpedoman pada nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.

Sebelumnya permohonan bernomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia dan empat pemohon individu. Para pemohon individu adalah sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V). 

Para pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.” 

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4) lalu, para pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.  

Francine menyebut norma yang ada dalam ketentuan syarat capres dan cawapres bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi. Selain itu, ia menyebut menurut Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, siapa pun warga negara memiliki hak sama untuk mengabdikan diri dalam penyelenggaraan negara dengan kemampuan masing-masing.  

Lebih jauh Francine menyebut objek permohonan adalah ketentuan yang diskriminatif karena melanggar moralitas. Ia mengatakan syarat usia calon presiden dan wakil presiden bisa menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia yang memilih maupun orang yang dipilih. 

Reporter: Ade Rosman