Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil Komisaris PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama pada Selasa (7/11). Basuki akan dimintai keterangan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan 'liquefied natural gas' (LNG) di PT Pertamina Tahun 2011-2021.
"Informasi yang kami peroleh saksi sudah hadir di Gedung Merah Putih KPK dan masih dilakukan pemeriksaan tim penyidik," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Ali belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai informasi apa saja yang akan didalami penyidik dalam pemeriksaan tersebut. Pada perkara dugaan korupsi LNG ini, KPK juga telah memeriksa memeriksa Menteri Badan Usaha Milik Negara Periode 2011-2014 Dahlan Iskan pada Kamis (14/9) dan Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati pada Kamis (26/10).
Sebelumnya, pada Selasa (19/9) KPK telah mengumumkan penetapan Karen sebagai tersangka Direktur Utama Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan. Karen ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di PT Pertamina pada 2011—2021.
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan duduk perkara korupsi LNG berawal dari rencana PT Pertamina untuk mengadakan bahan bakar alternatif sebagai cara mengatasi defisit gas di Indonesia pada 2012. Perkiraan defisit gas akan terjadi pada 2009- 2040, sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan pertamina, industri pupuk dan industri LNG.
Menurut Firli, Karen yang saat itu menjadi direktur utama mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa suplier LNG dalam negeri dan luar negeri. Saat pengambilan kebijakan tersebut Karen disebut melakukan keputusan perjanjian kerja sama secara sepihak tanpa melakukan kajian dan analisis menyeluruh, Karen juga disebut tidak melaporkan rencana kebijakan itu pada dewan komisaris pertamina.
"Pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup rapat pemegang saham tidak dilakukan sama sekali. Akibatnya tidakan Karen tidak mendapat persetujuan pemerintah saat itu," ujar Firli dalam keterangan pers yang disiarkan oleh KPK TV pada Selasa (19/9).
Firli menjelaskan perbuatan Karen bertentangan dengan pakta peryataan keputusan RUPS tanggal 1 Agustus 2012 tentang anggaran dasar pertamina dan sejumlah peraturan BUMN. Perbuatan Karen menyebabkan timbulnya kerugian negara sebesar US$ 140 Juta dolar atau setara dengan Rp 2,1 triliun. Atas perbuatan itu Karen disangkakan pelanggaran Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Perkara dugaan korupsi tersebut diduga berawal sekitar 2012. Saat itu PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2009-2040 sehingga perlu pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk, dan industri petrokimia lainnya di Indonesia. Karen yang diangkat sebagai Dirut Pertamina periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Pada perkembangannya, Karen kemudian disebut secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL. Persetujuan itu diambil tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Kondisi kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero.
Perbuatan KA atau Galaila Karen Kardinah menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar AS atau sekitar Rp2,1 triliun. Atas perbuatannya, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.