KPK Tahan Dua Tersangka Gratifikasi Pajak, Buka Opsi Jerat Korporasi

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (24/10/2022).
Penulis: Ira Guslina Sufa
10/11/2023, 07.27 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua orang tersangka baru dalam kasus dugaan gratifikasi terkait pemeriksaan perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tahun 2016-2017. Penahanan dilakukan untuk memudahkan proses penyidikan yang sedang berlangsung di KPK. 

"Tim penyidik menahan tersangka YMR (Yulmanizar) dan FB (Febrian) untuk masing-masing selama 20 hari pertama, terhitung mulai tanggal 9 November 2023 sampai dengan 28 November 2023 di Rutan KPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK seperti dikutip dari Antara, Jumat (10/11). 

Alex menerangkan penetapan tersangka terhadap keduanya adalah bagian dari pengembangan kasus dugaan korupsi yang menyeret Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Angin Prayitno Aji. Saat ini sudah ada tujuh tersangka lain dalam perkara yang menjerat Angin Prayitno yakni Kasubdit Kerjasama dan Dukungan Pemeriksaan pada DJP Dadan Ramdani (DR), Supervisor Tim Pemeriksa Pajak pada DJP Wawan Ridwan (WR), Ketua Tim Pemeriksa Pajak pada DJP Alfred Simanjuntak (AS).

Selanjutnya, konsultan pajak PT Gunung Madu Plantation Ryan Ahmad Ronas (AHR), konsultan pajak Gunung Madu Plantation Aulia Imran Maghribi (AIM), dan konsultan pajak PT Jhonlin Baratama Agus Susetyo (AS). Juga ada kuasa wajib pajak PT Bank Pan Indonesia Veronika Lindawati (VL). Putusan perkara para tersangka tersebut, saat ini telah berkekuatan hukum tetap.

Alex mengatakan dalam proses penyidikan perkara Angin Prayitno. Tim penyidik KPK menemukan adanya keterlibatan Yulmanizar dan Febrian dengan bukti yang memadai hingga dinyatakan layak untuk dijadikan tersangka. Adapun konstruksi perkara yang menjerat Yulmanizar dan Febrian berawal saat keduanya menjadi anggota tim pemeriksa pajak. 

Saat itu Yulmanizar dan Febrian ditugaskan melakukan rekayasa penghitungan kewajiban pembayaran pajak sesuai dengan perintah dan arahan berjenjang dari Angin, Dadan, Wawan, dan Alfred atas permintaan dari para wajib pajak. Agar keinginan wajib pajak dapat disetujui, Angin dan Dadan mensyaratkan adanya pemberian sejumlah uang dan yang melakukan "deal" dengan wajib pajak di lapangan adalah Yulmanizar dan Febrian. 

Wajib pajak yang memberikan uang di antaranya PT Gunung Madu Plantations untuk tahun pajak 2016, PT Bank Pan Indonesia untuk tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama.

Atas pengkondisian penghitungan perpajakan untuk tiga wajib pajak di maksud, Angin dan para tersangka menerima sejumlah sekitar Rp 15 miliar dan 4 juta dolar Singapura.

Bidik Tersangka Korporasi

Tak hanya menetapkan Yulmanizar dan Febrian sebagai tersangka, Alex mengatakan saat  ini penyidik KPK tengah mendalami potensi menetapkan tersangka korporasi dalam kasus gratifikasi tersebut. “Apakah perusahaan-perusahaan yang terlibat kemudian diwakilkan konsultan itu akan dijadikan tersangka, termasuk pihak manajemen? Nanti akan dilihat apa bukti-bukti yang diperoleh dari penyidik," kata Alex. 

Dalam perkara gratifikasi pemeriksaan perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak tersebut terdapat beberapa tersangka yang merupakan konsultan pajak yang mewakili korporasi. Menurut Alex sangat kuat dugaan para pihak dari korporasi juga ikut terlibat. 

“Kan nggak mungkin juga konsultan pajak memberikan uang dengan uang-nya sendiri. Jadi uang itu juga bagian dari fee atau apa pun yang diberikan perusahaan," kata Alex.

Dalam perkara, KPK menyebut Yulmanizar dan Febrian bersama-sama dengan Angin, Dadan, Wawan dan Alfred diduga menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak lainnya dengan bukti permulaan sejumlah sekitar miliaran rupiah dan masih terus dilakukan pendalaman. Atas perbuatannya. Yulmanizar dan Febrian dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Reporter: Antara