Indonesia dan Singapura mulai memberlakukan perjanjian ekstradisi atau penyerahan tersangka atau terpidana yang ditahan di negara lain ke negara asalnya. Perjanjian kedua negara berlaku mulai 21 Maret 2024 ini mencakup 31 tindak pidana termasuk pidana korupsi.
Selama ini Satgas BLBI kesulitan mengejar para pengemplang karena belum ada perjanjian ekstradisi RI - Singapura. Beberapa deret obligor BLBI yang memiliki alamat domisili di Singapura antara lain Agus Anwar, Kaharudin Ongko, Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengatakan perjanjian ekstradisi ini bersifat progresif karena terdiri atas pasal dan ruang lingkup yang berguna untuk masa sekarang dan masa depan.
"Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan capaian kerja sama di bidang hukum yang luar biasa dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting," ujar Yasonna H. Laoly dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (29/3).
Menurut Yasonna, perjanjian tersebut menjadi sejarah keberhasilan diplomasi Indonesia mengingat Singapura sebelumnya hanya memiliki kerangka kerja sama ekstradisi dengan negara-negara dan yurisdiksi tertentu. "Yakni Amerika Serikat, Jerman, Hong Kong SAR, dan negara-negara yang tergabung dalam commonwealth of nations (negara persemakmuran, red.),” imbuh dia.
Dia menjelaskan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura terdiri atas 19 pasal dengan ruang lingkup kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara mana dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Dalam perjanjian ekstradisi ini, terdapat 31 tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan terorisme, serta berbagai tindak pidana lain berdasarkan hukum kedua negara.
Tidak hanya itu, ekstradisi Indonesia-Singapura juga mempunyai fitur khusus, yakni penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Hal ini untuk menutup celah yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana yang mencoba menghindari proses hukum.
"Lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perjanjian ini menganut prinsip retroaktif hingga 18 tahun sebagai upaya menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dilakukan," jelas Yasonna.
Menkumham berharap perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat langsung dimanfaatkan para penegak hukum, memberikan efek deterrence atau pencegahan, dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam melarikan diri.
Perjanjian yang ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau, oleh Yasonna pada 25 Januari 2022 tersebut telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan.
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan perjanjian ekstradisi ke-12 yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia setelah dengan Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong SAR, Republik Korea, Republik Rakyat China, India, Papua Nugini, Vietnam, Persatuan Emirat Arab, dan Iran.