ICW Kritik Komposisi Pansel KPK Dominan Diisi Wakil Pemerintah

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #Bersihkan Indonesia melakukan aksi teaterikal \"Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Runtuhnya Pemberantasan Korupsi\" di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12/2021).
Penulis: Ade Rosman
7/6/2024, 15.38 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pembentukan panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi atau Pansel KPK untuk masa kerja 2024-2029 yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo. ICW menilai komposisi pansel tidak ideal. 

Menurut ICW pembentukan pansel sudah bermasalah sejak awal lantaran ada keterlambatan dibanding pembentukan pansel pada 2019 lalu. Kala itu, Jokowi telah membentuk Pansel sejak pertengahan Mei, tepatnya 17 Mei 2019. 

ICW berpandangan keterlambatan pembentukan pansel bisa berimbas pada waktu penjaringan Komisioner dan juga Dewan Pengawas KPK yang semakin pendek. “Mengurangi waktu partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan terhadap kerja Pansel,” tulis ICW dalam pernyataan resmi yang dikutip Jumat (7/6).

ICW juga menilai komposisi Pansel tidak ideal karena didominasi oleh kalangan pemerintah yakni sebanyak lima orang. Sedangkan, dari unsur masyarakat empat orang. 

“Kondisi ini tentu menimbulkan prasangka buruk, khususnya menyangkut dugaan keinginan intervensi dari pemerintah dalam proses seleksi Komisioner dan Dewan Pengawas KPK mendatang,” tulis ICW.

ICW berpandangan, semestinya dengan kondisi KPK seperti sekarang, pemerintah perlu memperbanyak unsur masyarakat untuk menjamin nilai independensi saat proses seleksi. ICW pun menyoroti lima poin yang harus dipenuhi oleh Pansel selama menjalankan tugasnya menjaring calon Komisioner dan Dewas KPK.

Pertama, Pansel harus menjamin proses seleksi benar-benar memenuhi nilai transparansi dan akuntabilitas sebagaimana tercermin dalam Pasal 31 UU KPK.“Setiap perkembangan pada setiap tahapan seleksi mutlak harus disampaikan kepada masyarakat,” tulis ICW.

Kedua, Pansel harus berpijak pada prinsip meaningful participation selama proses seleksi berlangsung. ICW menyebut, prinsip tersebut luput dan diabaikan oleh Pansel 2019 lalu.

“Padahal, Pasal 30 ayat (6) UU KPK secara tegas menyebutkan bahwa masyarakat berhak untuk memberikan tanggapan atas kinerja Pansel,” tulis ICW.

Ketiga, Pansel harus meletakkan nilai integritas sebagai indikator utama dan pertama dalam menjaring calon Komisioner dan Dewas KPK. Salah satu yang dapat digunakan oleh Pansel untuk menguji integritas calon adalah kepatuhan LHKPN, khususnya bagi pendaftar dari kalangan penyelenggara negara aktif maupun mantan penyelenggara negara.

“Jadi, bila ditemukan calon yang tak patuh LHKPN, baik tidak melapor atau terlambat, mestinya langsung digugurkan, bahkan sejak proses seleksi administrasi,” tulis ICW.

Keempat, Pansel harus menelusuri rekam jejak kandidat secara serius agar kemudian didapatkan kandidat Komisioner dan Dewas KPK yang independen. ICW berkaca pada lolosnya Firli Bahuri dalam seleksi 2019 lalu.

“Pansel juga mesti mencermati adanya potensi afiliasi kandidat dengan warna politik tertentu,” tulis ICW. 

Terakhir, Pansel harus aktif dalam mencari dan mengajak figur-figur berintegritas, kompeten, dan independen untuk mendaftar sebagai calon Komisioner dan Dewas KPK.

“Sebab, saat ini, bukan hal mudah untuk mendorong masyarakat yang memenuhi nilai-nilai ideal mendaftar sebagai pemimpin dan pengawas di lembaga antirasuah itu,” tulis ICW.

Daftar sembilan orang Pansel KPK

  • Ketua Pansel merangkap anggota: Muhammad Yusuf Ateh (Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP) 
  • Wakil Ketua merangkap anggota: Arief Satria (Rektor IPB)  

Anggota: 

  1. Dr. Ivan Yustiavandana (Ketua PPATK) 
  2. Nawal Nely (Profesional bidang ekonomi) 
  3. Ahmad Erani Yustika (Ekonom) 
  4. Ambeg Paramarta (Kepala Badan Strategis Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM) 
  5. Elwi Danil (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas)
  6.  Rezki Sri Wibowo (Transparency International Indonesia) 
  7. Taufik Rachman (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga)




Reporter: Ade Rosman