Ambisi merawat kuliner tradisional diwujudkan Aries Zulkarnain dalam buku Sepat Kuliner Samawa, Pembangkit Selera dari Sumbawa. Aries tak sekadar menulis resep dan teknik memasak sepat, ikan bakar rempah bercita rasa asam segar tersebut, tetapi juga merekam pengalaman kolektif masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Buku itu diluncurkan pada 12 Agustus 2023 melalui dukungan Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang diperoleh Aries pada 2022. Ikhtiar menjaga identitas budaya daerah ini mendapat apresiasi dari banyak pihak.
“Kuliner tidak hanya menciptakan kenikmatan bagi lidah, tetapi juga menghubungkan kita dengan sejarah dan budaya kita sendiri. Selain itu, dengan menulis kita dapat mewariskan cara berpikir orang-orang terdahulu,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa, Iksan Safitri saat menghadiri peluncuran buku yang dikutip dari laman Kesultanan Sumbawa, Minggu (4/8/2024).
Aries bukanlah satu-satunya pegiat budaya dari Sumbawa yang mendapat dana hibah tersebut. Ada Shinta Esabella yang menyabet dua kali dalam kategori penciptaan karya, yakni Media Literasi berbasis Aplikasi Smartphone Android dalam mengenalkan Kebudayaan Sumbawa kepada Penyandang Disabilitas Netra (2022) dan Pelestarian Bahasa Daerah Sumbawa (Bahasa Samawa) Melalui Pemanfaatan E-Learning dalam Inovasi Pembelajaran Bagi Anak Usia Remaja (2023).
Ada juga Tri Satriawansyah, anggota Pajatu Adat LATS sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Sumbawa dalam kategori objek pemajuan budaya, seperti yang didapatkan Aries. Judul karyanya Penentuan Delineasi Kawasan Cagar Budaya dan Pengembangan Pariwisata Situs Sarkofagus Ai Renung di Desa Batu Tering Kecamatan Moyo Hulu Kabupaten Sumbawa pada 2023.
Dana Indonesiana membuka akses sekaligus memperkuat partisipasi publik dalam pemajuan budaya di level nasional. Hibah ini untuk perseorangan, komunitas atau organisasi kebudayaan, dan lembaga kebudayaan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Adapun kategori pendanaannya, yakni pendayagunaan ruang publik; penciptaan karya kreatif inovatif; sinema mikro; dokumentasi karya pengetahuan maestro atau OPK rawan punah; dukungan institusional; serta kajian objek pemajuan kebudayaan dan cagar budaya
“Dana Indonesiana dirancang khusus untuk sektor kebudayaan sehingga hasil pengembangannya bisa digunakan oleh para pelaku budaya dengan lebih fleksibel,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid dalam keterangannya, dilansir dari laman resmi Kemendikbud, Senin (10/7/2024).
Hilmar mengatakan, nantinya standar pembiayaan akan disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan dan pelaku budaya, sehingga diharapkan Dana Indonesiana dapat memberikan manfaat seluas-luasnya.
Kendati demikian, ia menilai pembiayaan untuk kegiatan kebudayaan selama ini masih sangat minim. Alhasil, berbagai inisiatif dan kreativitas bidang kebudayaan tidak dapat berjalan secara optimal.
Meski masih minim, dana hibah ini sudah menjangkau banyak pihak, yakni 263 penerima manfaat pada 2023. Jumlahnya meningkat dari 2022 sebanyak 131 penerima dan 196 penerima manfaat pada 2021. Dukungan program Dana Indonesiana mencakup fasilitas bidang kebudayaan, pemanfaatan hasil kelola dana abadi kebudayaan, dan program beasiswa untuk para pelaku budaya.
Dana Indonesiana adalah program hibah yang bersumber dari Dana Abadi Kebudayaan yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Besarannya ditambahkan Rp2 triliun hingga 2024. Bila dijumlah dengan modal Dana Abadi yang sudah ditabung sejak 2010 sebesar Rp1 triliun, totalnya menjadi Rp3 triliun. Alokasi ini terhitung kecil dibanding dana kelolaan lainnya, seperti Dana Abadi Pendidikan, Dana Abadi Riset, dan Dana Abadi Perguruan Tinggi.
Pendanaan untuk bidang kebudayaan hingga 2024 juga masih sedikit dari yang dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar Rp5 triliun. Selain dari APBN, Dana Indonesiana berasal dari pendapatan investasi, dan/atau sumber lain yang sah.
Di samping sumber penganggaran itu, ada skema Badan Layanan Umum (BLU). Terakhir yang diterapkan adalah pengelolaan objek pemajuan budaya, yakni museum dan cagar budaya (MCB). BLU MCB atau dikenal Indonesian Heritage Agency (IHA) mengoptimalkan pelayanan 18 unit museum dan 34 cagar budaya.
Menurut laporan Kemendikbudristek yang diterima Databoks, pendapatan sejumlah museum dan cagar budaya diproyeksikan naik signifikan pada 2025. Pendapatan paling tinggi dibukukan oleh Candi Borobudur yang ditaksir sebesar Rp16,79 miliar pada 2024 atau setara 58,22% dari total pendapatan museum dan cagar budaya di bawah IHA tahun ini. Nilai pendapatannya diproyeksikan bertumbuh 40% menjadi Rp27,93 miliar pada 2025.
Skema BLU bisa melepas ketergantungan pengelolaan museum dan cagar budaya terhadap APBN. Ini karena BLU MCB dapat mengantongi pendapatan lebih fleksibel dari Penerimaan Pajak Bukan Negara (PNBP). Namun, tidak menutup kemungkinan skema tersebut turut mempengaruhi berkurangnya kucuran APBN kepada Ditjen Kebudayaan.
Dana Indonesiana yang dikelola dengan BLU di bawah LPDP ini tetap dijalankan oleh Ditjen Kebudayaan. Sebagai gambaran, sekup kewenangan Ditjen Kebudayaan sebagai Program Management Office (PMO) bertugas untuk mengawal hal substantif seperti sosialisasi, pendaftaran, seleksi, sampai penetapan penerima manfaat. Sedangkan LPDP di bawah Kementerian Keuangan memiliki tugas dan fungsi untuk mengelola keuangan serta penyalur dana kepada penerima manfaat.
Namun, muncul wacana pembentukan BLU khusus di bawah Kemendikbudristek sebagai pengelola Dana Indonesiana. Aristofani Fahmi, Direktur Koalisi Seni menyebut, wacana ini mendesak untuk diwujudkan.
"Mekanisme BLU ini tepat sebagai jaring pengaman apabila terjadi perombakan susunan kementerian. Apabila ada wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan, BLU hanya tinggal pindah saja jalur koordinasinya," tulis Aristofani dalam kolom opini Tempo pada 16 Mei 2024.
Di level daerah, bidang kebudayaan juga dianggap belum mendapatkan porsi anggaran yang memadai dalam anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD). Hal itu disampaikan Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni. Selain itu, Ratri menilai bahwa alokasi anggaran kebudayaan dalam APBD juga masih minim.
Ratri memberi contoh di Kota Medan, anggaran kebudayaan selama tiga tahun terakhir tak lebih dari 0,5% APBD. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan anggaran lingkungan hidup di wilayah tersebut yang mencapai 6,2% dari APBD. Sementara di Dumai, anggaran kebudayaannya hanya sekitar 0,2% dari APBD, sedangkan dua pertiganya sudah dialokasikan khusus ke lembaga adat.
Lain hal dengan Yogyakarta yang mendapatkan anggaran sektor kebudayaan melalui dana keistimewaan (danais) dari APBN. Menurut data Bappeda Provinsi Yogyakarta, pada 2024 alokasi danais provinsi tersebut sebesar Rp1,42 triliun. Sebanyak 75,37% atau Rp1,07 triliun dari dana tersebut bakal disalurkan untuk sektor kebudayaan.
Meski terhitung besar, alokasi sementara pada 2024 sebenarnya turun dari 2023 yang mencapai Rp1,12 triliun. Alokasi pada 2023 terbesar selama lima tahun terakhir.
Dana tersebut digunakan untuk pengembangan dan pembinaan sejarah sastra; cagar budaya dan warisan budaya; adat tradisi lembaga budaya; perintisan desa budaya; serta pengembangan sanggar seni di masyarakat.
Menurut Ratri, kebudayaan membutuhkan sumber pendanaan berkelanjutan dengan penyaluran yang transparan, akuntabel, dan kontekstual sesuai dengan prioritas pemajuan kebudayaan daerah setempat.
“Ini penting karena investasi terhadap kebudayaan merupakan investasi terhadap pembangunan manusia,” kata Ratri dalam tulisannya bertajuk Dana Abadi Daerah untuk Kebudayaan: Seberapa Mungkin Jadi Kenyataan? yang diterbitkan pada 13 Oktober 2023.
Sebenarnya, wacana tentang dana abadi daerah untuk kebudayaan sudah muncul sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).
“….data yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.” Demikian bunyi Pasal 1 nomor 83 dalam mendefinisikan dana abadi daerah.
Namun, kata Ratri, langkah menuju pembentukan dana abadi untuk kebudayaan daerah sangat berliku. Oleh karena itu, pemerintah pusat dinilai perlu segera mengesahkan peraturan turunan mengenai dana abadi daerah, sebagai solusi pendanaan alternatif yang berkelanjutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Urgensi perluasan Dana Abadi Kebudayaan juga sempat digaungkan oleh Hilmar Farid pada tahun lalu. Ia menyampaikan, perluasan pengelolaan Dana Abadi Kebudayaan hingga ke level daerah menjadi salah satu rekomendasi dalam Rencana Aksi nasional Pemajuan Kebudayaan 2025-2029.
“Jadi untuk kegiatan-kegiatan sangat lokal sifatnya, bisa diselesaikan di tingkat lokal,” kata Hilmar dalam penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2023 di Jakarta, diberitakan Tirto, Jumat 27 Oktober 2023.
Belajar lebih jauh dari Amerika Serikat (AS). Pendanaan federal, negara bagian, dan lokal untuk sektor seni dan budaya negara tersebut pada 2022 sebesar US$1,85 miliar atau Rp29,84 triliun (asumsi kurs Rp16.132 per US$). Total investasi per kapitanya sebesar US$5,49 atau Rp88 ribu.
Pendanaan berasal dari National Endowment for the Arts (NEA) sebesar US$180 juta (Rp2,9 triliun); State Arts Agencies (SAA) dari dana legislatif sebesar US$833 juta (Rp13,43 triliun); dan Local Arts Agencies (LAA) sebesar US$837 juta (Rp13,5 triliun).
Melansir laporan Public Funding for the Arts 2022 dari Grantmakers in the Arts (GIA), pendanaan seni untuk publik di AS sebenarnya sempat menurun selama 2021 karena pandemi Covid-19. Para pembuat kebijakan federal, negara bagian, dan lokal pun ‘mengakalinya’ dengan pendanaan bantuan, contohnya American Rescue Plan (ARP) Act.
“Kombinasi bantuan federal dan negara bagian, serta peningkatan ekonomi saat mereka [aktivitas seni] dibuka kembali, menyebabkan pendanaan seni publik tertinggi sepanjang 2022,” ujar Direktur Riset National Assembly of State Arts Agencies (NASAA) Ryan Stubbs dan koleganya yang dikutip pada Senin (5/8/2024).
Tim riset menambahkan, alokasi seni federal, negara bagian, dan lokal meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, masing-masing 7%, 107%, dan 24%. Mereka meyakini resiliensi pendanaan kemungkinan akan berlanjut hingga 2023 karena kondisi ekonomi negara bagian dan lokal yang tetap kuat dan dana bantuan federal terus dibelanjakan.
Pada tahun yang sama, seluruh pemerintahan di Uni Eropa menggelontorkan dana sebesar EUR74,9 miliar atau Rp1.322 triliun (asumsi Rp17.661 per EUR) untuk sektor budaya atau 0,9% dari total pengeluaran pemerintah. Melansir Eurostat, angka tersebut merupakan pengeluaran untuk layanan budaya, penyiaran, dan penerbitan. Sama seperti Dana Indonesiana, output pembiayaan Uni Eropa ini menyasar individu dan kolektif.
Lain halnya dengan pemerintah Kanada yang menginvestasikan sektor seni dan budaya sebesar Rp87,9 triliun pada 2019. Sementara Inggris memberikan sumbangan amal untuk seni dengan nilai Rp10,2 triliun pada 2018.