Revisi Kilat UU Pilkada: Main-main Konstitusi Atas Nama Demokrasi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz
Pengunjuk rasa membawa poster berisi pesan tuntutan dalam aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Minggu (15/10/2023).
Penulis: Ira Guslina Sufa
22/8/2024, 06.04 WIB

Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merampungkan pembahasan Revisi Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam rapat maraton yang digelar sepanjang Rabu (21/8), para wakil rakyat di alat kelengkapan yang mengurusi legislasi bersama pemerintah mendapat kata sepakat untuk membawa draft ke rapat paripurna. Dari 9 partai yang ada di DPR, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menolak.  

Sesuai agenda, DPR bakal mengambil keputusan tingkat akhir untuk Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang pada Kamis (22/8). Undangan untuk paripurna sudah disebar ke seluruh anggota dewan. 

Pengesahan Revisi UU Pilkada yang berlangsung di Baleg mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pembahasan yang dikebut satu hari dalam tiga kali sesi rapat di luar kewajaran pembahasan undang-undang. Revisi dinilai sengaja dikebut untuk memuluskan kepentingan sejumlah pihak pada pilkada 2024 yang akan menutup masa pendaftaran calon kepala daerah untuk tingkat provinsi, kabupaten dan kota pada 29 Agustus mendatang. 

Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, mengatakan revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil. Ia menyebut rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para pembuat regulasi untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada. Revisi dinilai jadi akal-akalan terhadap konstitusi. 

“Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing,” ujar Azeem seperti dikutip Kamis (22/8). 

Ia pun mengatakan kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Karena itu, pengesahan di DPR menurut Azeem merupakan pelanggaran hukum yang  menabrak tatanan konstitusional dan merobohkan prinsip checks and balances dalam penyusunan Undang-Undang. 

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengingatkan 575 anggota DPR untuk tidak menyetujui revisi di forum paripurna. Ia menyebut bila revisi itu disahkan menjadi Undang-Undang, maka DPR telah melakukan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 tahun 2024 yang ditetapkan pada Selasa (20/8). 

"Menurut saya, pembangkangan terhadap putusan MK, yang bertujuan menjamin pemilu yang berkeadilan, akan disikapi oleh beberapa elemen masyarakat sebagai tindakan yang tidak patuh pada prinsip negara hukum," kata Susi seperti dikutip Kamis (22/8). 

Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini. Pertama, berkaitan dengan Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Dengan merujuk pada aturan MA, DPR mengabaikan putusan terbaru yang dibuat  Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Dalam sidang pada Selasa (22/8) MK menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

Materi krusial kedua berkaitan dengan perubahan Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam revisi terbaru, DPR hanya mengakomodasi sebagian dari putusan MK. DPR menyimpulkan persyaratan pencalonan kepala daerah tetap mengacu pada ambang batas 25% suara sah atau 20% jumlah kursi untuk partai yang ada di parlemen. Sedangkan syarat suara berdasarkan persentase jumlah pemilih tetap sebagaimana ditetapkan MK hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPR. 

Simbol Peringatan Darurat (Instagram )

Langgar Konstitusi

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar. Ia mengatakan putusan mengenai perubahan ambang batas untuk pencalonan kepala daerah yang diputuskan MK bersifat mengikat sehingga tak bisa dianulir begitu saja oleh DPR. 

“MK adalah penafsir konstitusi yang mengikat maka harus diikuti. Ketika dipaksa untuk tidak diikuti itu sama dengan mengangkangi putusan konstitusi,” ujar Zainal saat dihubungi.  

Menurut Zainal keputusan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan oleh MK merupakan keputusan hukum yang bersifat final. Ditambah lagi keputusan berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah yang ditetapkan MK telah memberi ruang demokrasi yang lebih luas kepada masyarakat. 

Ia menilai putusan yang sudah dibuat MK menjadi jalan untuk memperbaiki demokrasi Tanah Air yang sudah rusak. Selama ini ia melihat terdapat diskriminasi lantaran partai harus memenuhi syarat yang besar untuk bisa mengusulkan calon dan lebih sulit dibanding calon independen sehingga putusan yang dibuat MK telah menghapuskan diskriminasi dalam Pilkada. 

Dalam catatan Zainal, praktik pencalonan di Pilkada selama ini menyuburkan terbentuknya koalisi gemuk. Selain itu juga muncul fenomena kotak kosong untuk melawan pasangan calon yang diusung koalisi partai seperti yang terjadi di pemilihan kepala daerah Surakarta pada 2020. 

“Saya kira putusan MK mengakhiri itu dan meredam fenomena kotak kosong dan borong partai. Itu sebabnya saya kira putusan ini bagus,” ujar Zainal lagi. 

Kritik atas sikap DPR yang mengabaikan putusan MK juga disampaikan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna. Ia menyebut kesepakatan Baleg menyetujui  RUU Pilkada dengan menganulir putusan MK menyalahi konstitusi. 

“Cara ini buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi," kata Palguna. 

Ia mengingatkan DPR bahwa MK merupakan lembaga negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk mengawal konstitusi. Meski begitu  dia mengatakan, pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR sudah berada di luar kewenangan MK.

Kritisi Ultra Petita 

DPR dan pemerintah membantah sengaja meloloskan revisi UU Pilkada untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Wakil Ketua Badan Legislasi Achmad Baidowi mengatakan revisi yang sudah disepakati berlaku umum untuk seluruh rakyat Indonesia. Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini menjelaskan bahwa RUU Pilkada digulirkan karena sifatnya darurat mengingat pendaftaran Pilkada 2024 akan dibuka pada 27 Agustus mendatang.

"Tidak ada secara spesifik untuk meluluskan calon-calon tertentu karena kita asasnya adalah asas kedaruratan waktu,” ujar Baidowi. 

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas bersikukuh mengatakan tak ada upaya untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi lewat revisi UU Pilkada. Ia menyebut pembahasan oleh DPR bersama pemerintah didasarkan pada dasar hukum dan kewenangan pembentukan undang-undang.

“siapa bilang DPR melakukan pembangkangan? Tugas konstitusional yang diberikan oleh UUD kan membentuk undang-undang itu lembaga pembentuk undang-undang, positive legislation, itu ada di parlemen," kata Supratman. 

Sementara itu Partai Gelora yang menjadi salah satu penggugat dalam perkara Nomor 60 tahun 2024 turut mengkritisi putusan MK. Sekjen Gelora Mahfudz Sidik mempertanyakan putusan MK yang  memutuskan norma baru pengaturan persyaratan pendaftaran calon kepala daerah  berdasarkan jumlah penduduk dan persentase suara sah partai. "Hal ini sama sekali tidak ada dalam permohonan uji materi," kata Mahfud. 

Ia menyebut MK telah melakukan Ultra Petita dengan memutus obyek perkara yang tidak diajukan oleh pemohon (pada pasal 40 ayat 1 UU Pilkada). "Pengaturan norma baru oleh MK tentang persyaratan pencalonan kepala daerah menimbulkan ketidakpastian hukum baru," kata Mahfudz. 

UNJUK RASA TOLAK UU CIPTAKER DI JAKARTA (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.)

Gelombang Penolakan

Berbeda dengan Gelora, Partai Buruh yang juga mengajukan permohonan uji materi Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyambut gempita putusan yang dibuat MK. Maka ketika DPR bersama pemerintah sepakat membawa draft RUU ke rapat paripurna, Partai Buruh dengan lantang menyuarakan penolakan. 

Partai Buruh mengklaim setidaknya 5.000 buruh akan turun menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada Kamis (22/8). Seruan aksi juga digemakan melalui  akun X @Ecopartaiburuh. 

"Partai Buruh akan kembali turun ke jalan. Kali ini di depan Gedung DPR RI. Mendesak DPR tak menganulir putusan MK soal ambang batas Pilkada," tulis akun tersebut. 

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan putusan yang telah dibuat MK merupakan keputusan yang sudah final dan mengikat. Mereka memprotes sikap DPR yang membahas revisi UU dengan tidak mengindahkan putusan terbaru yang dibuat MK. 

Penolakan juga datang dari kelompok mahasiswa dan pegiat masyarakat. Suara aksi di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta menguat seiring dengan bergemanya seruan ‘peringatan darurat’ di media sosial. 

Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada menjadi pemicu utama. Para penolak berkeyakinan tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang supremasi menegakkan konstitusi.

Reporter: Ade Rosman, Muhamad Fajar Riyandanu, Amelia Yesidora, Antara