Chandra Hamzah Ungkap Alasan Pasal Kerugian Negara di UU Tipikor Perlu Revisi

KATADATA/IHYA ULUM ALDIN
Mantan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah memberikan keterangan kepada awak media di Jakarta Senin (18/11).
Penulis: Ade Rosman
24/9/2024, 17.13 WIB

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M Hamzah menyampaikan pandangan terkait frasa kerugian negara dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurut Chandra, konsep kerugian negara yang sering dijadikan indikasi adanya korupsi memiliki sejumlah kelemahan dalam praktiknya.

"Saya melihat ada kecenderungan akhir-akhir ini bahwa kerugian dijadikan faktor utama untuk menentukan apakah seseorang terlibat korupsi. Padahal, dalam konteks bisnis dan aktivitas negara, kerugian sangat mungkin terjadi," ungkap Chandra seperti dikutip dari podcast Gultik Katadata.co.id, Selasa (24/9). 

Menurut Chandra dalam kegiatan bisnis, termasuk di perusahaan milik negara (BUMN), kerugian bukanlah hal yang luar biasa. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kerugian, seperti fluktuasi harga, gejolak pasar, hingga penugasan pemerintah yang memang sudah diproyeksikan tidak menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, ia menilai penegakan hukum berkaitan dengan korupsi yang cenderung berfokus pada kerugian negara bisa mendatangkan ketidakadilan dalam penegakan hukum. 

Chandra mengkritik bahwa dalam beberapa kasus, kerugian negara seringkali dijadikan dasar untuk menuduh terjadinya korupsi. Padahal menurut dia, persoalan utama korupsi terdapat pada tindakan memperkaya diri dengan melawan hukum. Adapun melawan hukum bisa terjadi karena adanya persekongkolan, penyalahgunaan wewenang dan suap menyuap. 

"Bila kerugian negara dijadikan pintu masuk atau indikasi adanya korupsi, dan menurut saya pola pikir ini keliru," ujar Chandra. 

Lebih jauh, Chandra menguraikan sejarah rumusan delik dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal  3 UU Tipikor pada mulanya merujuk pada peraturan militer tahun 1957 yang dikeluarkan saat Indonesia berada dalam kondisi darurat militer. Saat itu fokus kerugian negara adalah pada upaya nasionalisasi perusahaan asing yang tak lepas dari adanya praktik kongkalikong dalam peralihan kepemilikan perusahaan. Frasa tersebut menurut Chandra tidak lagi relevan dengan situasi hari ini. 

Di sisi lain, ia juga menyoroti bahwa konsep kerugian negara dalam UU Tipikor ini menjadi masalah dalam kerjasama hukum internasional. Pasal tersebut menurut Chandra tidak diakui di negara lain sehingga menghambat proses Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum antarnegara. 

Chandra menjelaskan bahwa korupsi, sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), adalah tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara tidak sah melalui penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks ini, kerugian negara hanyalah dampak dan bukan inti dari perbuatan korupsi itu sendiri. "Abuse of function itu yang jadi inti masalahnya, bukan kerugian negara," jelasnya.

Menurut Chandra, revisi terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor perlu dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan yang eksesif. Ia mengusulkan agar DPR, pemerintah, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) menginisiasi perubahan tersebut. "Urgensinya adalah kita bisa melakukan MLA dengan negara lain dan tidak lagi menggunakan pasal yang menganggap setiap kerugian adalah tindak pidana korupsi," ujar Chandra.

Ajukan Uji Materi 

Pada Senin (23/9) dua Pasal dalam Undang-Undang Undang-undang Nomor 31/1999 juncto Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) digugat ke Mahkamah Konstitusi. Uji materi diajukan oleh tiga orang pemohon terdiri dari mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari. 

Permohonan atas uji materi 2 Pasal di UU Tipikor itu disampaikan oleh kuasa hukum yang ditunjuk yaitu Maqdir Ismail, Illian Deta Arta Sari dan Annissa Ismail. Usai menyerahkan permohonan, Maqdir mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpeluang membuka ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi bila digunakan hanya berfokus pada soal kerugian negara. 

Maqdir mengatakan adanya frasa kerugian negara yang dijadikan tolok ukur sebuah tindak pidana korupsi dinilai tidak selalu relevan dalam perkara korupsi yang tengah diusut penegak hukum. Penggunaan delik kerugian negara menurut Maqdir berpotensi menyulitkan posisi seorang pengambil kebijakan.

“Pada dasarnya kita ini bukan tidak setuju dengan pemberantasan korupsi. Kita setuju dengan itu. Korupsi itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi yang menjadi persoalan pokok adalah jangan sampai pemberantasan korupsi ini menimbulkan ketidakadilan baru,” ujar Maqdir saat memberikan penjelasan kepada wartawan di Gedung MK. 

Menurut Maqdir dalam pemberantasan korupsi penegak hukum harus lebih fokus pada adanya kejahatan. Kejahatan yang ia maksud berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau kongkalikong dan suap menyuap. 

Ia menilai dalam sebuah keputusan bisnis tidak ada kepastian mengenai apakah kebijakan yang diambil menguntungkan atau merugikan di kemudian hari. Hal terpenting menurut Maqdir dalam pengambilan keputusan bisnis adalah tidak adanya unsur itikad jahat dan kongkalikong serta dilakukan dengan prosedur yang benar. Atas alasan itu ia mengatakan pengambil keputusan tidak bisa dipidana hanya atas dasar dugaan kerugian negara. 

"Mereka tidak serakah, mereka menjalankan tugas dengan baik, tetapi mereka diberi predikat sebagai koruptor karena ada kerugian keuangan negara," kata dia.

Lebih jauh ia berpandangan, dalam sebuah tindak korupsi terdapat unsur kesengajaan berupa penyalahgunaan kewenangan serta perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Hal ini berbeda dengan kerugiaan negara yang timbul dalam sebuah keputusan bisnis. 

Adapun, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Selanjutnya merujuk Pasal 3 Tipikor disebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Maqdir menilai bila penegak hukum hanya fokus pada kerugian keuangan negara maka pengambil kebijakan yang memiliki itikad baik juga bisa dikenai pidana. 

"Oleh karena itu kemudian kami berpikir, kami sampaikan di dalam permohonan ini, alternatifnya adalah Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ini dibatalkan,” ujar Maqdir. 

Ia menyebutkan, pemohon menilai terlalu banyak kasus hukum yang justru menjerat orang-orang dengan itikad baik tetapi dianggap salah lantaran terdapat kerugian negara dalam kebijakan yang diambil. “Tetapi karena ada kerugian di BUMN misalnya mereka dipidana meskipun mereka tidak mengambil apa pun," kata Maqdir.

Di sisi lain, Maqdir mengatakan para pemohon tidak menutup peluang bisa hakim Mahkamah Konstitusi bakal menolak uji materi untuk membatalkan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3. Meski begitu, Maqdir mengatakan bila hal itu yang terjadi maka diperlukan prasyarat akan kedua pasal bisa diterapkan. 

Ia menyebut penggunaan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 harus memenuhi unsur suap menyuap. "Tanpa ada suap menyuap, orang tidak boleh dikenakan dengan pasal ini. Apalagi kan orang mengambil kebijakan dengan itikad baik," kata dia.

Reporter: Ade Rosman, Amelia Yesidora