Pandemi virus corona (Covid-19) telah memukul sejumlah sektor usaha, termasuk kelapa sawit. Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, akibat lesunya kegiatan usaha saat ini, sejumlah pekerja hingga buruh kebun pun kini terancam terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Analisa kami akan ada ancaman PHK masssal di industri sawit. Selain itu, ada pula ancaman pemotongan gaji," kata dia dalam video conference, Rabu (8/4).
Ancaman ini kemungkinan menyasar buruh harian lepas. Menurutnya, industri sawit saat ini memiliki dua kriteria pekerja, yakni buruh tetap dan buruh harian lepas yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan. Jenis buruh ini yang sebagian besar bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
(Baca: Pengusaha Khawatir Pandemi Corona Tekan Harga Minyak Sawit)
Adapun ancaman PHK tersebut dapat terjadi lantaran kinerja ekspor sawit tengah lesu. Ia mencatat, ekspor minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO) ke Tiongkok pada Februari 2020 pun turun drastis menjadu sebesar 84 ribu ton, dibanding periode yang sama 2019 sebesar 317 ribu ton. Tak hanya Tiongkok, penurunan ekspor juga terjadi untuk negara tujuan ekspor lainnya.
Akibat ekspor yang turun, harga Tandan Buah Segar (TBS) pun ikut jatuh karena minimnya permintaan. Jika pada Januari lalu, harga TBS masih berada di kisaran Rp 2.005 per kilogram, memasuki Februari mulai jatuh ke level Rp 1.700 per kilogram dan kembali tertekan di periode Maret senilai Rp 1.500 per kilogram.
Namun, ia menilai harga TBS saat ini masih relatif stabil lantaran masih berkisar Rp 1.400-1.500 per kilogram. "Kalau harga di bawah Rp 1.200 per kilogram itu membuat petani was-was," katanya.
Darto menjelaskan, stabilitas harga TBS saat ini, lebih ditopang oleh permintaan domestik. Hal ini sejalan dengan program Biodiesel 30% (B30) serta tingginya permintaan minyak goreng menjelang ramadan dan lebaran.
(Baca: Ekspor Sawit ke Tiongkok Turun, Kementan Bidik Pasar India & Pakistan)
Selain itu, kampanye mencuci tangan guna mencegah penyebaran virus corona juga dinilai meningkatkan permintaan sawit sebagai bahan baku sabun. "Jadi kekurangan permintaan internasional bisa ditutupi sedikit demi sedikit dari pasar domestik," ujarnya.
Untuk mencegah penyebaran virus corona di lingkungan kerja, banyak pengusaha sawit yang menurutnya belum memiliki protokol pencegahan. Hal ini dinilai berbeda dengan sektor perkebunan lainnya yang memiliki protokol pencegahan corona, seperti tanaman padi. Protokol pencegahan corona tersebut juga belum diterapkan di wilayah konsesi.
Padahal, petani sawit juga menghadapi kendala biaya hidup yang semakin tinggi sejak penularan corona meluas. Sebab, harga sejumlah sembako turut meningkat, seperti harga minyak goreng hingga gula. Sementara, petani sawti tidak punya stok atau lahan pangan sendiri.