Ambisi BOR dan Lomba Kereta Cepat Tiongkok oleh Negara Asia-Australia

ANTARA FOTO/REUTERS/Darley Shen
Kereta api peluru berkecepatan tinggi China, Harmony, berada di pusat perawatan, saat dimulainya kesibukan perjalanan Festival Musim Semi, di Wuhan, provinsi Hubei, China, Kamis (1/2).
Penulis: Hari Widowati
15/5/2019, 19.11 WIB

Proyek kereta cepat bukan cuma obsesi Indonesia. Beberapa negara di dunia, seperti Malaysia, Thailand, India, hingga Australia juga tengah membangun kereta cepat sebagai salah satu moda transportasi massal yang akan memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat di masa depan.

Mimpi Indonesia untuk memiliki kereta cepat bakal segera terwujud. Proyek yang dimulai sejak 21 Januari 2016 dan sempat terhenti itu telah mencapai tonggak sejarah baru dengan ditembusnya terowongan Walini, Selasa (14/5). Terowongan sepanjang 608 meter itu merupakan terowongan pertama dari 13 terowongan di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno menyebut pembangunan KCJB akan mencapai 60% pada akhir 2019. KCJB pun ditargetkan menjadi kereta cepat pertama di Asia Tenggara yang akan beroperasi pada akhir 2020.

Proyek kereta cepat yang diperkirakan menelan biaya US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 81,95 triliun itu diharapkan mampu menciptakan pusat-pusat perekonomian baru. "Keberadaan proyek ini bertujuan mengurai kepadatan, baik di Jakarta maupun di Bandung sehingga mampu menciptakan pusat-pusat perekonomian yang baru dan mendorong pemerataan ekonomi," ujar Rini.

Indonesia menggunakan teknologi dari Tiongkok dalam proyek kereta cepat ini. Proyek ini memang proyek bersama dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan saham 60% dan Beijing Yawan HSR Co Ltd 40% melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Adapun kepemilikan saham PSBI dimiliki oleh PT Wijaya Karya Tbk sebesar 38%, PT Kereta Api Indonesia (KAI) 25%, PTPN VIII 25%, dan PT Jasa Marga Tbk 12%.

Bank Pembangunan Tiongkok (China Development Bank/CDB) akan menggelontorkan pinjaman jangka panjang senilai US$ 4,5 miliar dalam proyek ini dengan bunga 2% per tahun. Sisa dana untuk kebutuhan proyek ini akan didanai oleh konsorsium.

Tiongkok memang bukan negara pertama yang memiliki kereta cepat. Namun, dari 43.000 km jalur kereta cepat yang terbentang di seluruh dunia, 65% dikuasai oleh Tiongkok. Dari sisi penumpang yang diangkut, Tiongkok berkontribusi sekitar 60% dari total penumpang kereta cepat di dunia.

Menurut data China Railway, sepanjang kuartal I 2019 kereta cepat di sana mengangkut 10 miliar penumpang. "Ini adalah rekor dunia baru," kata China Railway dalam pernyataan resmi seperti dikutip Globaltimes.cn. Kereta tercepat di dunia untuk kereta non-levitasi magnet (maglev) saat ini adalah kereta peluru Fuxing Hao dari Tiongkok yang mampu melaju dengan kecepatan 350 km per jam.

Jepang yang melahirkan kereta cepat Shinkansen sejak 1 Oktober 1964 tak mau ketinggalan. Saat ini Jepang tengah menguji coba kereta Shinkansen ALFA-X yang digadang-gadang menjadi kereta tercepat di dunia mengalahkan Fuxing Hao. Kecepatan maksimum ALFA-X yang akan beroperasi pada 2030 ini mencapai 400 km per jam. Jalur kereta api cepat di Jepang saat ini mencapai 2.764,6 km.

(Baca: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Sudah Terbangun 17,38%)

Dari Mana Dana Kereta Cepat? (Katadata)

Kereta Cepat Jadi Bagian dari Belt and Road (BOR)

Proyek besar Belt and Road (BOR) yang merupakan upaya Tiongkok mengembalikan kejayaan Jalur Sutra di abad ke-21 juga melibatkan berbagai proyek kereta cepat di Asia, antara lain di Malaysia, Thailand, dan Singapura. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad ketika baru dilantik menyatakan proyek East Coast Rail Link tidak akan dilanjutkan. Pasalnya, proyek tersebut dinilai merupakan warisan dari Perdana Menteri Najib Razak. Malaysia juga tidak ingin terperangkap utang dari Tiongkok.

Namun, pemerintah Tiongkok berhasil membuat Mahathir berubah pikiran."Saya yakin, Malaysia akan mendapatkan manfaat dari proyek ini," kata Mahathir dalam pidatonya di pembukaan The Second Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Tiongkok, Jumat (26/4), seperti dikutip South China Morning Post.

Pernyataan itu disampaikannya setelah Maret lalu Tiongkok setuju memangkas biaya proyek East Coast Rail Link sebesar 30%. Jalur kereta cepat yang akan menghubungkan perbatasan Malaysia dengan Thailand itu sebelumnya diperkirakan menelan investasi US$ 20 miliar. Jalur kereta cepat sepanjang 688 km tersebut akan menghubungkan Port Klang di pesisir barat dengan pesisir timur Semenanjung Malaysia dan wilayah perbatasan Thailand.

Malaysia juga memiliki proyek MyHSR yang akan menghubungkan Kuala Lumpur dan Singapura sepanjang 350 km. Pemerintah Malaysia dan Singapura pada September 2018 sepakat untuk menghentikan proyek ini hingga Mei 2020. Dilanjutkannya proyek East Coast Rail Link membawa optimisme baru bahwa proyek MyHSR juga bakal dibuka kembali.

Proyek kereta cepat yang terkait BOR lainnya adalah jalur kereta cepat yang menghubungkan Thailand-Laos-Tiongkok. Jalur kereta sepanjang 873 km yang diinisiasi sejak 2014 itu juga sempat mangkrak. Thailand menghentikan proyek ini pada 2016 karena tak setuju dengan bunga pinjaman Tiongkok yang dinilai terlalu mahal.

Pemerintah Thailand memutuskan untuk mendanai sendiri proyek yang menjadi bagiannya sebesar US$ 5,2 miliar. Hingga saat ini baru 3,5 km jalur kereta yang sudah dibangun. Babak baru pembangunan proyek ini dimulai setelah Tiongkok, Thailand, dan Laos menandatangani nota kesepakatan dalam Belt and Road Forum di Beijing, April lalu.

(Baca: Datangkan Bor Raksasa, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dikebut)

Kereta cepat (Arief Kamaludin|KATADATA)

Kereta Cepat India dan Australia Terinspirasi Jepang

Persaingan untuk membangun kereta cepat bukan hanya dalam koridor BOR. India dan Jepang menandatangani kerja sama untuk merevitalisasi rel kereta api di India dengan jalur kereta cepat pada 2015. India membutuhkan 9.000 kereta untuk mengangkut 22 juta orang setiap hari. 

Jalur kereta cepat di India sepanjang 500 km akan menghubungkan distrik keuangan dan bisnis di Mumbai dengan pusat bisnis di negara bagian Gujarat, yakni Surat dan Ahmedabad. Proyek kereta peluru yang dimulai 2017 itu ditargetkan rampung pada 15 Agustus 2022.

Saat ini di India sudah ada kereta semi-high speed yang disebut Vande Bharat Express yang memiliki kecepatan 160 km per jam. Untuk proyek kereta cepat, India mengacu pada kereta Shinkansen seri E5 dengan kecepatan maksimal hingga 320 km per jam. Jika proyek ini sukses,  India akan mengembangkan jalur kereta cepat ini menjadi sepuluh rute total sepanjang 6.000 km. 

Sementara itu, negara lain yang tertarik membangun kereta cepat adalah Australia. Ide tentang kereta cepat dibawa oleh Kepala Organisasi Riset Industrial dan Ilmiah Commonwealth (CSIRO) Paul Wild pada awal 1980-an. Pada waktu itu, Wild baru kembali dari kunjungannya ke Jepang dan berkesempatan mencoba kereta Shinkansen. Ia membayangkan perjalanan dengan kereta dari Canberra ke Sydney yang memakan waktu 4 jam bisa dipersingkat dengan kereta super cepat.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd, pernah dikaji pembangunan jalur kereta cepat dari Brisbane ke Melbourne via Sydney dan Canberra sejauh 1.748 km dengan perkiraan biaya US$ 114 miliar. Kereta cepat bisa menghubungkan Brisbane dan Sydney dalam waktu 2 jam 37 menit adapun rute Sydney ke Canberra bisa ditempuh dalam waktu 1 jam 4 menit.

Sejak 2017, pemerintah Australia memprioritaskan pembangunan kereta cepat di koridor pesisir timur dengan estimasi biaya US$ 4,3 miliar. Dalam anggaran pemerintah koalisi 2019, dialokasikan dana US$ 1 miliar untuk mempersiapkan desain dan perencanaan proyek tersebut. Adapun pembangunan proyeknya baru dimulai pada 2022.

(Baca: China Railway Tertarik Berinvestasi Infrastruktur di Jabar)