Kalangan pengusaha menilai pembangunan infrastruktur tidak serta merta menurunkan biaya logistik. Ini lantaran infrastruktur yang ada belum ditunjang hal lain, seperti regulasi untuk kemudahan berusaha.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Budi Paryanto mengatakan, hal ini mengakibatkan pemanfaatan infrastruktur tersebut minim. Budi menjelaskan salah satu contohnya adalah persoalan tarif kargo, hingga persoalan prioritas dalam bongkar muat kargo di bandara. Bahkan dia menyebut kenaikan tarif kargo udara bisa mencapai 300% dan tidak membantu penurunan biaya sektor logistik.
Budi juga mencontohkan masalah lainnya adalah banyak bandara yang memberi prioritas ruang kecil bagi kargo. Hal ini membuat waktu bongkar muat menjadi panjang bahkan hingga mencapai tiga jam. Padahal, kompetisi waktu di sektor ini seharusnya hanya dalam hitungan menit saja.
"Karena tata kelola dan regulasi menghambat sehingga (infrastruktur) tidak digunakan maksimal," kata Budi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (27/2).
Dia menjelaskan, dengan adanya masalah-masalah pada kargo maka perusahaan banyak yang melirik moda lain seperti angkutan laut. Namun, masalah ini belum berakhir karena urusan bongkar muat kargo komersial di pelabuhan belum menjadi prioritas ketimbang penumpang hingga komoditas. "Ini regulasi harus ditata dan ditambah dermaga khusus," katanya.
(Baca: Kritik Infrastruktur Era Jokowi, Faisal Basri Minta Bangun Jalur Laut)
Biaya Lain dari Mata Rantai Logistik
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, meski pembangunan infrastruktur terlihat positif, biaya logistik belum turun lantaran masih adanya beberapa biaya dalam rantai pasok logistik. Beberapa biaya mata rantai lainnya adalah sewa pergudangan, tarif pelabuhan, hingga ongkos logistik darat seperti truk.
"Sulit untuk turun kecuali pemerintah mendudukkan kami dengan swasta pemilik barang agar tidak ada lagi middle man," kata Carmelita.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, setelah infrastruktur terbangun akan lebih baik jika pemerintah menetapkan target kerja berupa penurunan ongkos logistik terhadap produk domestik bruto (PDB). Dua tahun lalu, ongkos logistik masih mencapai 24% dari PDB atau hampir dua kali lipat dibandingkan di Singapura dan Malaysia. "Setiap tahun evaluasi saja dengan Key Performance Index (KPI), seberapa kontribusi proyek (terhadap penurunan biaya logistik)," kata Enny.
Sedangkan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Danis Sumadilaga mengatakan, pembangunan infrastruktur akan tetap mendukung logistik terutama antarmoda. Salah satu infrastruktur yang akan dibangun adalah jalan akses pelabuhan yang menghubungkan pelabuhan Patimban dengan jalan Pantura dan tol Trans Jawa. "Jadi, partisipasi kami saat ini melalui pembangunan jalan ke pusat perhubungan laut, udara, hingga penyeberangan," kata Danis.
(Baca: Strategi Infrastruktur Capres Tingkatkan Daya Saing Ekonomi Nasional)