Kementerian Perhubungan (Kemenhub) baru saja melakukan uji publik atas revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek. Hasilnya, kendaraan dengan kapasitas mesin di bawah 1.300 cc atau kendaraan tipe low cost green car (LCGC) diijinkan digunakan sebagai taksi berbasis online.
“Untuk cc kendaraan taksi ini berlaku 1.000 cc, artinya LCGC itu bisa dipenuhi dalam PM 32/2016. Berarti LCGC boleh," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto di kantornya, Jumat (17/2). (Baca: Kementerian Koperasi: Taksi Online Bisa Berplat Hitam)
Pudji mengatakan pertimbangannya memperbolehkan kendaraan tipe LCGC digunakan sebagai taksi online, karena sesuai dengan semangat pemerintah dalam mensosialisasikan kendaraan ramah lingkungan dan efisien. Selain itu, dari sisi ekonomi kendaraan tipe LCGC saat ini punya ceruk pasar yang lumayan besar.
Ditinjau dari segi keamanan, mobil murah ramah lingkungan ini dianggap sudah lolos uji. Pasalnya, sebelum dipasarkan, kendaraan ini harus melalui serangkaian tes dari Kemenhub dan Kementerian Perindustrian, untuk bisa dikategorikan sebagai LCGC.
“Saya juga tidak sependapat jika LCGC dikatakan rentan masalah safety (keamanan). Karena buktinya dia lolos uji tipe Kementerian Perhubungan, dan industri lolos masalah laik kendaraan itu. Tidak ada dasar dia tidak safety," ujarnya.
Pudji menegaskan, maka dari itu perkara keamanan tergantung dari kepatuhan pengemudi terhadap aturan yang berlaku. Misalnya dengan mengangkut penumpang melebihi kapasitas kendaraan atau berkendara dengan melebihi kecepatan maksimal 160 kilometer per jam. Hal ini dilarang, karena rentan menyebabkan terjadinya kecelakaan.
(Baca juga: Sasar 3 Sektor Investasi, Grab Kucurkan Dana Rp 9,3 Triliun)
Dengan membolehkan LCGC digunakan untuk taksi online, Pudji mengaku tidak khawatir akan meningkatnya volume kendaraan di tiap sudut jalan Ibukota. Ini bisa diatasi dengan membatasi kuota armada setiap perusahaan penyedia jasa transportasi online.
Dia belum bisa menjelaskan berapa jumlah kuota yang bakal diatur. Pasalnya, kuota untuk setiap perusahaan akan ditentukan oleh pemerintah daerah. Saat ini pun pemerintah daerah seperti DKI Jakarta telah memiliki kebijakan berapa banyak taksi yang bisa beroperasi di daerahnya.
Dalam uji publik ini Kemenhub juga mengikutsertakan perusahaan penyedia aplikasi transportasi online dan Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda). Pudji mengatakan poin penting lainnya adalah persoalan kesetaraan dalam bisnis taksi terkait dengan penentuan batas atas dan bawah.
Mengenai penentuan tarif, Kemenhub menyerahkan kewenangannya kepada Gubernur di setiap daerah operasi taksi online. “Supaya ada kesetaraan ada tarif atas dan bawah, diserahkan ke Gubernur. Karena yang tahu pangsa pasar, baik online maupun taksi resmi di bawah Organda,” katanya.
Sekadar informasi, saat ini jumlah taksi berbasis online yang beroperasi di Indonesia sudah mencapai 11 ribu armada. Taksi-taksi tersebut berasal dari tiga penyedia aplikasi antara lain Grab, Uber, dan Go-Jek. (Baca: Saingi Duet Taksi Express-Uber, Go-Jek Resmi Gandeng Blue Bird)
Dari jumlah tersebut baru 5.000 armada yang sudah mendapat ijin operasi secara penuh. Sedangkan sisanya masih dalam proses perijinan. Pudji mengungkapkan selama ini ketiga penyedia aplikasi tersebut terus melakukan proses perijinan.