Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce yang sudah dikaji sejak 2015 tampaknya akan dirilis tahun ini. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan tiga draf peraturan lainnya terkait ekonomi digital.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rudy Salahuddin mengatakan bahwa rancangan aturan itu sudah ada di Sekretariat Negara (Setneg). "Tidak ada perubahan (dari kajian awal)," kata dia di Grha Niaga, Jakarta, Selasa (12/2).
RPP e-commerce ini memuat 19 bab dan 82 pasal, dengan tiga pokok bahasan. Pertama, pengaturan umum yang terdiri dari ketentuan umum; lingkup pengaturan dan prinsip; pihak yang melakukan; persyaratan; penyelenggaran; pelaku usaha e-commerce; dan bukti.
Kedua, bisnis proses yang memuat iklan elektronik; penawaran, penerimaan, dan konfirmasi elektronik; kontrak elektronik; perlindungan terhadap data pribadi; pembayaran; pengiriman barang dan jasa; penukaran dan atau pembatalan pembelian. Terakhir, memuat ketentuan lainnya seperti penyelesaian sengketa; pembinaan dan pengawasan; sanksi; ketentuan perubahan dan penutup.
(Baca: Bisnis E-Commerce, Zilingo Kantongi Investasi Rp 3,2 Triliun)
Untuk mengkaji aturan ini, pemerintah mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS). Sebab, BPS sudah mengumpulkan data dari e-commerce pada 2018, meskipun tidak semua pelaku di industri ini mau membagikan datanya. Selain itu, pemerintah ingin pengumpulan data e-commerce ini dilakukan di satu pintu.
Untuk itu, akan ada aturan khusus yang memungkinkan BPS berbagi data terkait e-commerce kepada Kementerian dan Lembaga (K/L) lain. "Tapi kami belum tahu akan bisa terbit kapan," kata Rudy.
Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang peta jalan (road map) sistem perdagangan nasional berbasis elektronik atau e-commerce juga akan direvisi. Sebab, ada beberapa kebijakan yang sudah tidak relevan. Di satu sisi, ada kebijakan penting namun belum tertuang di aturan tersebut.
Kebijakan baru yang masuk dalam revisi roadmap e-commerce di antaranya: perlindungan data; transaksi lintas batas (cross border); barang dan jasa digital; serta penguatan daya saing produk local dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
(Baca: McKinsey Indonesia Dorong Kerja Sama Bank dan Fintech)
Sejalan dengan adanya revisi roadmap e-commerce tersebut, ia berharap Indonesia memiliki strategi ekonomi digital secara nasional. "Indonesia belum punya, negara lain sudah. Kami mohon bantuan para pelaku untuk berkolaborasi untuk membuat strategi ekonomi digital yang harus diselesaikan tahun ini, sebagai bentuk luaran dari Perpres e-commerce," ujarnya.
Ketiga, Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Pajak sebagai aturan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Pajak Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau E-commerce. "Targetnya memang 1 April (tetap berlaku). Kami diskusi tiap minggu dengan Ditjen Pajak)," ujar Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga.
Keempat, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE). Aturan ini juga memuat tentang perusahaan digital (Over The Top/OTT). "Saya maunya aturan ini dirilis tahun lalu," kata Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Samuel Abrijani Pangarepan, beberapa waktu lalu (1/2).
(Baca: Penjualan E-Commerce Diklaim Naik 70% Saat Imlek)
Hanya, aturan tersebut urung dirilis awal tahun ini karena alasan politik. Asisten Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Marsma TNI Sigit Priyono mengatakan, masalah lokasi pusat data masih menjadi polemik. Ada kekhawatiran data pribadi masyarakat Indonesia dikonsumsi oleh negara lain.