Sejumlah petinggi modal ventura memperkirakan, startup e-commerce akan masif merger dan akuisisi pada tahun depan. Ini untuk meningkatkan efisiensi.
Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali menjelaskan, konsolidasi biasanya berfokus pada efisiensi. “Saya lihat sektor e-commerce akan yang masif (merger dan akuisisi),” kata dia dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, Senin (2/11).
Startup e-commerce di Indonesia seperti Tokopedia dan Bukalapak bersifat agregasi suplai. “Sekarang terlalu banyak. Nilainya bukan lagi di agregasi, tetapi kurasi. Jadi kalau dilihat merger dan akuisisi, tentu sektor yang efisien,” ujar dia.
Selain itu, ia melihat bahwa perusahaan rintisan social commerce akan semakin berkembang. Apalagi data GlobalWebIndex, penduduk Indonesia rerata mempunyai 10-11 akun media sosial pada kuartal I 2020, sebagaimana Databoks berikut:
William juga menilai, prospek turunan e-commerce lainnya yakni digitalisasi warung atau online to offline (O2O) akan semakin berkembang. “Efek pandemi corona, startup yang mendorong rantai pasok (suplai chain), prospeknya masih sangat bagus,” kata dia.
Berdasarkan riset perusahaan sekuritas CLSA, biaya akuisisi konsumen alias customer acquisition costs (CACs) melalui mitra warung US$ 2 per pelanggan atau hanya 10-20% dibandingkan cara umum. Selain itu, layanan O2O berkontribusi 10% terhadap total pengguna baru di e-commerce.
Sedangkan riset Euromonitor International 2018 menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina lebih suka berbelanja di toko kelontong, sebagaimana tecermin pada Databoks berikut:
Sebelumnya, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro juga memperkirakan bahwa merger dan akuisisi di sektor e-commerce akan mulai terjadi di tahun ini. “Arah kedepan sepertinya menuju konsolidasi antarpemain,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Oktober lalu (26/10). “Tahun ini sudah mulai, karena hanya yang modalnya besar yang bisa terus ‘bakar uang’.”
Hal itu karena konsumen di Indonesia sangat sensitif terhadap harga, sehingga e-commerce butuh dana besar untuk memberikan promosi. Selain itu, perlu memperkuat platform dari sisi suplai produk, tampilan hingga logistik.
Meski begitu, secara umum pasar perdagangan online di Indonesia masih sangat besar. Riset Google, Temasek dan Bain and Company bertajuk e-Conomy SEA 2019 pun memperkirakan, nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) e-commerce di Indonesia US$ 20,9 miliar pada 2019, sebagaimana tertera pada Databoks di bawah ini:
Hal senada disampaikan oleh Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo. “Merger dan akuisisi, konsolidasi industri akan semakin marak,” kata dia kepada Katadata.co.id. Ini karena perusahaan akan mulai meningkatkan efisiensi rantai pasokan.