Wajah Baru E-Commerce RI di Tengah Serbuan Raksasa Teknologi Dunia
Raksasa teknologi global seperti Facebook hingga decacorn Gojek mulai merambah sektor perdagangan online Tanah Air. Meski begitu, e-commerce unicorn seperti Tokopedia dan Bukalapak memiliki strategi tersendiri di tengah ketatnya persaingan.
Co-Founder sekaligus Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menilai, kehadiran pemain asing di Indonesia bukan hal yang baru. Ketika East Ventures memberikan pendanaan pertama kepada Tokopedia pada 2010 misalnya, eBay sudah hadir di Tanah Air.
Kemudian, Multiply, Rakuten, Lazada dan Shopee menyusul masuk ke Nusantara. “Tetapi e-commerce itu terus berubah sesuai dengan struktur demografi pengguna dan kematangan ekosistemnya, sehingga yang bertahan hanyalah yang bisa beradaptasi dengan cepat,” kata Willson kepada Katadata.co.id, Senin (26/10).
Ia melihat, Tokopedia dan Bukalapak masih bertahan dengan terus beradaptasi dan dibantu oleh kearifan lokal. Berdasarkan data iPrice, kedua unicorn nasional ini pun masih menempati posisi tiga teratas dari sisi jumlah kunjungan setiap bulannya per kuartal III. Sedangkan data per kuartal I dapat dilihat pada Databoks berikut:
iPrice juga mencatat, jumlah kunjungan ke platform e-commerce masih didominasi pemain lokal yakni 55% pada kuartal II. Namun, jumlahnya terus menurun dibandingkan kuartal I 57% dan kuartal III 2019 61%.
Di satu sisi, Willson melihat potensi layanan online to offline (O2O) seperti yang dikembangkan oleh Bukalapak dan Tokopedia melalui mitra warungnya, cukup potensial. “Layanan ini berkembang pesat juga karena perubahan struktur ekosistem digital Indonesia,” kata dia.
Berdasarkan riset perusahaan sekuritas CLSA, biaya akuisisi konsumen alias customer acquisition costs (CACs) melalui mitra warung US$ 2 per pelanggan atau hanya 10-20% dibandingkan cara umum. Selain itu, layanan O2O berkontribusi 10% terhadap total pengguna baru di e-commerce.
Sedangkan riset Euromonitor International 2018 menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina lebih suka berbelanja di toko kelontong, sebagaimana tecermin pada Databoks berikut:
CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menilai, pasar perdagangan online di Indonesia masih sangat besar. Riset Google, Temasek dan Bain and Company bertajuk e-Conomy SEA 2019 pun memperkirakan, nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) e-commerce di Indonesia US$ 20,9 miliar pada 2019, sebagaimana tertera pada Databoks di bawah ini:
Akan tetapi, konsumen di Indonesia sangat sensitif terhadap harga, sehingga e-commerce butuh dana besar untuk memberikan promosi. Selain itu, perlu memperkuat platform dari sisi suplai produk, tampilan hingga logistik.
Oleh karena itu, menurutnya merger dan akuisisi di sektor e-commerce akan mulai terjadi di tahun ini. “Arah kedepan sepertinya menuju konsolidasi antarpemain,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Senin (26/10). “Tahun ini sudah mulai, karena hanya yang modalnya besar yang bisa terus ‘bakar uang’.”
Hal senada disampaikan oleh Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo. “Merger dan akuisisi, konsolidasi industri akan semakin marak,” kata dia kepada Katadata.co.id. Ini karena perusahaan akan mulai meningkatkan efisiensi rantai pasokan.
Pada tahun ini, Blanja.com milik Telkom Grup, Sorabel, dan Stoqo justru tutup ketika layanan e-commerce semakin diminati saat pandemi corona. Tingginya peminat dapat dilihat pada Databoks berikut:
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Jefri Sirait mengatakan bahwa penyebab startup yang menutup layanan padahal tengah diminati yakni kompetisi. “Saat bertarung, ujungnya pasti soal harga,” kata dia kepada Katadata.co.id, Agustus lalu (5/8).
Raksasa Teknologi Global dan Gojek Masuk E-Commerce
Di tengah tingginya peminat, raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS), Google dan Tiongkok, TikTok mulai mengembangkan fitur belanja online. Gojek dikabarkan bakal meluncurkan layanan social commerce melalui Moka yang diberi nama GoStore.
Berdasarkan laporan McKinsey, social commerce adalah platform yang memfasilitasi jual-beli produk melalui media sosial. Sedangkan e-commerce memfasilitasi transaksi, termasuk pembayaran dan pengiriman.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda memperkirakan, perkembangan belanja online mengarah kepada social commerce. Apalagi, Facebook mulai mengkaji penggunaan dompet digital di Instagram hingga WhatsApp.
Selain itu, pemerintah belum mengatur social commerce. “Jadi lebih mudah untuk bertransaksi melalui media sosial. Apalagi tidak memungut biaya layanan seperti e-commerce,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (13/10).
Namun, kelemahan bertransaksi di media sosial yakni keamanannya tidak terjamin. Ini karena pembayarannya tidak ditampung dalam rekening bersama, seperti di e-commerce.
“Lebih banyak potensi fraud. Tetapi, ke depan saya yakin platform social commerce akan memperbaiki hal ini,” ujar dia.
Apalagi data GlobalWebIndex, penduduk Indonesia rerata mempunyai 10-11 akun media sosial pada kuartal I 2020. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:
JP Morgan dalam laporannya bertajuk ‘E-Commerce Payments Trend: Indonesia’ pada 2019 menunjukkan, aplikasi merupakan saluran penjualan utama di Indonesia yakni 74,8% atau US$ 5,3 miliar. Sedangkan YouTube, Facebook, dan WhatsApp menjadi media sosial yang paling populer.
“Penjualan UMKM di media sosial diperkirakan 40% dari seluruh transaksi online di Indonesia,” demikian dikutip dari laporan JP Morgan. “Platform ini merupakan peluang menarik bagi pedagang yang lebih besar untuk berinteraksi dengan pembeli muda yang lebih melek digital.” Apalagi pertumbuhan pasar e-commerce Tanah Air akan didorong oleh populasi generasi muda.
Meski begitu, e-commerce unicorn lokal seperti Bukalapak memiliki cara tersendiri untuk tumbuh dan menghasilkan keuntungan. CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin akan menyasar kota di level atau tier dua seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru.
"Fokus kami selalu pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta kota-kota tier dua," kata Rachmat dikutip dari Tech In Asia, pekan lalu (21/10). “Ini isu yang kami lihat dan terus cari solusinya."
Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengatakan, penetrasi e-commerce di luar kota metropolitan masih rendah. "Hanya 5% di luar kota-kota tier satu. Padahal yang membutuhkan di luar wilayah itu," kata Teddy saat konferensi pers virtual, September (11/9) lalu.
Sejauh ini, hampir 70% bisnis Bukalapak dijalankan di luar kota tier satu. "Kami bertahun-tahun membangun mitra di kota ini (luar tier satu). Mayoritas pengguna juga di sana," ujarnya.
Selain itu, Bukalapak berfokus menyediakan beragam layanan yang konsepnya mirip aplikasi super (superapp). Yang terbaru, menyediakan program turnamen gim melalui kemitraan dengan Maingame.com.
Sedangkan CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyambut baik persaingan dengan perusahaan asing. "Kami sudah menghadapi raksasa internet global sejak hari pertama," katanya dikutip dari Business Insider, pekan lalu (21/10).
Ketimbang terobsesi dengan persaingan, “kami memilih berfokus pada masalah sehari-hari bagi pelanggan dan pedagang, menghasilkan inovasi produk dan memberikan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal,” ujar dia.