Pemerintah Kaji Aturan yang Wajibkan E-Commerce Cantumkan Asal Barang

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
24/2/2021, 14.20 WIB

Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Edwin Manangsang menambahkan, pemerintah mengupayakan agar produk impor tidak membanjiri platform e-commerce. Salah satu caranya, dengan pengenaan pajak. 

Pada tahun lalu, pemerintah menurunkan ambang batas pembebasan (de minimis) bea impor via e-commerce menjadi US$ 3 (Rp 42.227) dari yang sebelumnya US$ 75 (Rp 1 juta). "Ini membatasi masuknya barang impor," kata Edwin.

Selain itu, pemerintah berfokus meningkatkan kualitas produksi UMKM agar berdaya saing.

Sedangkan Ketua Umum idEA Bima Laga menyoroti dua aturan yang dapat berpengaruh terhadap ekonomi digital tahun ini.  Keduanya yakni UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dan UU Nomor 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja.

Bima berfokus pada dua hal terkait UU Bea Meterai, yakni ruang lingkup objek dan meterai elektronik. Kedua aturan ini dinilai dapat menghambat pengembangan dan keseimbangan ekosistem digital.

Terkait UU Cipta Kerja, ia menyoroti kewajiban mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) dalam faktur pembelian. Ini dinilai dapat menekan transaksi di platform digital.

Padahal, potensi bisnis ekonomi digital di Indonesia cukup besar. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks dan Bagan di bawah ini:

Nilai ekonomi digital di Indonesia dan transaksi per sektor (Google, Temasek, dan Bain and Company: e-Conomy 2020)
Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan