Moratorium Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas tarif bea masuk untuk transmisi digital, sebuah pilar utama pengembangan internet selama beberapa dekade, mendapatkan penangguhan pada menit-menit terakhir, pada Jumat (1/3). Namun, kesepakatan ini akan memaksa perusahaan-perusahaan teknologi dan e-commerce untuk menghadapi masa berlaku bea masuk transmisi digital ini pada tahun 2026.
Pertemuan tingkat menteri ke-13 WTO di Abu Dhabi pada jam-jam terakhirnya menghasilkan kesepakatan untuk memperpanjang moratorium hingga pertemuan tingkat menteri berikutnya dalam dua tahun. Masa berlaku yang sulit akan membutuhkan negosiasi yang lebih ekstensif pada saat itu.
"Beberapa negara mungkin menganggapnya sebagai kesempatan untuk mulai bekerja dalam membangun sistem tarif yang akan mulai berlaku pada tahun 2026," kata seorang sumber yang dekat dengan perundingan tersebut kepada Reuters, Jumat (1/3).
India, yang telah meminta konsesi di bidang pertanian, memblokir perpanjangan tersebut. Namun, India kemudian berubah sikap setelah adanya permintaan dari tuan rumah Uni Emirat Arab. Alhasil, perpanjangan moratorium selama dua tahun menjadi satu-satunya hasil yang signifikan dari pertemuan tersebut.
Hanya sedikit pakar perdagangan yang mengetahui seperti apa tarif digital dalam praktiknya. Moratorium WTO ini diluncurkan pada tahun 1998 untuk mendorong pertumbuhan internet yang masih muda dan telah diperbarui secara berkala sejak saat itu.
Saat ini, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Google dan Microsoft telah meraup pendapatan ratusan miliar dolar. Hal ini membuat semakin banyak negara menginginkan bagian dari kekayaan tersebut dan tarif bea masuk menawarkan jalan yang potensial.
"Bea masuk semacam itu akan mempersulit perusahaan-perusahaan yang mengandalkan data dan layanan digital - yang secara efektif adalah semua perusahaan di zaman sekarang," ujar Naomi Wilson, yang mengepalai kebijakan perdagangan di Dewan Industri Teknologi Informasi, sebuah kelompok industri di Washington, seperti dikutip Reuters.
"Jadi, ini lebih dari sekadar masalah teknologi besar atau masalah negara maju. Ini benar-benar akan merusak keseluruhan ekonomi digital," kata Wilson.
Indonesia Sudah Menyiapkan Aturan
Sejauh ini, hanya Indonesia yang memiliki peraturan yang memungkinkan pengenaan bea masuk atas barang-barang digital, yang digambarkan sebagai perangkat lunak, data elektronik, dan transmisi multimedia yang dikirimkan melalui transmisi elektronik.
Saat ini, tarif Indonesia untuk transmisi semacam itu adalah nol, sejalan dengan moratorium. Namun, dalam sebuah pernyataan di WTO, Indonesia mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya impor yang beralih ke pengiriman digital, seperti film, video game, dan musik maka negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang kehilangan pendapatan tarif sebesar US$56 miliar (sekitar Rp 840 triliun) antara tahun 2017 dan 2020.
Indonesia menilai tarif bea masuk digital akan membantu pengembang perangkat lunak lokal dan penyedia konten untuk bersaing dengan raksasa teknologi global.
Kelompok-kelompok industri AS juga menyerukan agar larangan tarif digital dipermanenkan. Tujuannya, untuk mengakhiri ancaman terus-menerus oleh beberapa negara yang memblokir pembaruan untuk mencoba memenangkan konsesi di tempat lain.
"Sungguh melegakan melihat moratorium ini bertahan, dengan gigih," kata Tiffany Smith, wakil presiden kebijakan perdagangan global di Dewan Perdagangan Luar Negeri Nasional, sebuah kelompok yang mewakili perusahaan-perusahaan besar AS.
Menurutnya, perdebatan yang tak berkesudahan mengenai moratorium ini mengesampingkan kemampuan untuk membuat kemajuan dalam agenda yang lebih luas jika ada isu-isu penting dan merongrong keberlangsungan WTO sebagai sebuah forum yang berguna bagi para menteri perdagangan.
William Reinsch, seorang pakar perdagangan di lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies di Washington, memperkirakan jika moratorium tersebut digagalkan, kemungkinan sekitar 140 negara yang mendukungnya akan setuju untuk memperbaharuinya sebagai bagian dari "inisiatif pernyataan bersama" WTO. "Hal ini akan memberikan sedikit kepastian bagi komunitas bisnis," tambah Reinsch.