Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah meresmikan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) pada akhir bulan lalu. Asosiasi optimistis platfrom tersebut bisa menekan tingkat bunga dan kredit macet atau non performing loan (NPL) fintech menjadi lebih rendah.
Ketua Bidang Institusional dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengatakan, saat ini tingkat bunga di masing-masing platform fintech bervariasi. Namun, Asosiasi telah menetapkan bunga pada pinjaman produktif 16 – 30 % per tahun. Sedangkan bunga pinjaman konsumtif dibatasi 0,8 % per hari dengan maksimal bunga dan biaya lainnya tidak lebih dari 100 %.
Menurut dia, Pusdafil akan bisa mengukur dan membantu risiko tingkat bunga. “Kami harapkan potensi kegagalan bayar bisa terukur dan bisa termitigasi, yaitu otomatis bunganya lebih bisa ditekan untuk turun,” ujar Tumbur saat ditemui di Jakarta, Rabu (5/2).
Karena itu, melalui Pusdafil ini juga diharapkan bisa menurunkan tingkat NPL. Hadirnya platform ini akan menyaring para peminjam (borrower) sehingga mengetahui fintech mana saja yang sudah dipinjam dan jumlah nominal pinjaman. Dengan demikian, Pusdafil akan membantu seluruh platform untuk mengukur potensi gagal bayar. Apalagi, Aftech juga bekerja sama dengan sejumlah lembaga credit scoring.
(Baca: Fintech Modalku Target Salurkan Pinjaman Rp 20 T & Berencana Ekspansi)
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat NPL fintech pada Desember 2019 berada di angka 3,65 %, naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya yakni 1,45 %. Tumbur menilai, tingkat NPL pada 2019 lalu masih tergolong aman apabila dibandingkan dengan industri keuangan lainnya seperti perbankan.
Bagi Tumbur, hal itu bisa dimaklumi karena industri fintech lending selama beroperasi tiga tahun terakhir tidak memiliki perangkat untuk mengukur risiko gagal bayar tersebut. “Kami bekerja hanya menggunakan alternatif data, ditambah tidak ada jaminan saat memberi pinjaman karena melayani yang unbanked dan unserved. Kami industri yang bermain di risiko tinggi,” ujar Tumbur.
Meski demikian, Asosiasi bakal terus memantau tingkat NPL. Apalagi, kata Tumbur, setiap platform memiliki strategi tersendiri agar tingkat NPL tidak tinggi. Sebab hal itu akan berpengaruh pada kepercayaan pemberi pinjaman (lender).
Data OJK pada awal tahun lalu menunjukkan, pinjaman yang masuk kategori tidak lancar atau belum melakukan pembayaran selama 30-90 hari mencapai 3,17 % dan yang macet atau tidak melakukan pembayaran lebih dari 90 hari mencapai 3,18 %. Perhatikan grafik pada Databoks berikut ini:
Di sisi lain, Tumbur mengatakan, tingkat NPL yang baru mencapai 3,65 % menjadi gambaran bahwa penetrasi fintech lending masih terpusat di Pulau Jawa. Data OJK mencatat, pada 2019 jumlah borrower di pulau ini 15.397.251, sedangkan di luar Pulau Jawa 3.171.872. “Artinya, potensi ekspansi ke daerah lain di luar Jawa masih sangat terbuka lebar,” ujar dia.
(Baca: Siasat Fintech Investree: Akuisisi, Ekspansi, dan Incar Warung)
Sebelumnya, Tumbur menjelaskan bahwa Pusdafil berpotensi menurunkan tingkat bunga pinjaman di industri fintech lending. Sebab, perusahaan bisa mengukur risiko peminjam dan diharapkan NPL-nya menurun.
Semakin tinggi risiko pinjaman, semakin besar bunga yang ditetapkan bagi peminjam. “Pusdafil bisa memitigasi risiko lebih awal dari gagal bayar. Itu sangat mengurangi cost yang akan timbul,” kata Tumbur Pardede kepada Katadata.co.id.
Infrastruktur itu juga mengurangi biaya operasional perusahaan. Selama ini, fintech lending bekerja sama dengan perusahaan pemeringkat kredit untuk meminimalkan risiko pinjaman.
Sebagai informasi, Pusdafil atau dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) sudah terhubung dengan lima platfrom fintech lending per 31 Januari lalu. Padahal ada 164 perusahaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Integrasi FDC dengan platform 164 fintech lending di Indonesia dilakukan dalam empat tahap. Pada tahap pertama, lima fintech lending yakni Julo, Danamas, Mekar, Finmas, dan MauCash sudah terintegrasi.
Melalui Pusdafil, perusahaan dapat mengetahui daftar para peminjam nakal atau yang sering terlambat membayar pinjaman. Peminjam yang meminjam di banyak fintech lending juga dapat diketahui melalui FDC.