Pendiri sekaligus pemilik Lippo Group Mochtar Riady mengatakan, perusahaannya menjual dua pertiga saham OVO. Sebab, perusahaannya tidak kuat jika harus memasok dana untuk strategi ‘bakar uang’.
"Bukan melepas, kami menjual sebagian,” kata Mochtar Riady di sela-sela acara Indonesia Digital Conference 2019, di Jakarta, Kamis (28/11). Ia memperkirakan, saham Lippo Group di OVO saat ini hanya 30%. “Dua pertiganya kami jual.”
Ia mengatakan, Lippo Group sebagai pemegang saham utama OVO menjual dua pertiga kepemilikan saham karena tidak kuat memasok dana untuk ‘bakar uang’. Misalnya, dalam bentuk potongan harga atau diskon hingga uang kembali (cashback).
"Alasannya, terus bakar uang bagaimana kami kuat," kata Mochtar. (Baca: OVO Tanggapi Kabar Bakal Ditinggal Lippo Group)
Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra membantah bahwa Lippo Group bakal meninggalkan perusahaannya. Ia mengatakan, OVO terus berinovasi untuk meningkatkan pangsa pasar dan jangkauan penggunaan (usecase) dompet digitalnya. Hal ini merupakan upaya OVO untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Selain itu, OVO merupakan penyedia layanan keuangan digital yang didirikan, dirintis, dan dikembangkan oleh Lippo Group. “Kami adalah perusahaan independen yang dikelola oleh manajemen profesional. Mana mungkin OVO berpisah dari pendirinya,” kata dia dalam siaran pers, beberapa waktu lalu (14/11).
Karaniya mengatakan, rumor itu sangat merugikan eksistensi OVO dan Lippo Group. Ia mengatakan bahwa pimpinan perusahaan baru saja bertemu dan berdiskusi dengan Direktur Lippo Group John Riady.
"Kami berdiskusi mengenai pengembangan OVO ke depan. Pak John banyak memberikan masukan dan sangat suportif terhadap berbagai upaya pengembangan bisnis OVO,” kata dia.
(Baca: Investasi di Uber dan WeWork Sebabkan Softbank Menderita Kerugian)
Karaniya mengatakan, promosi berupa uang kembali (cashback) dan lainnya merupakan hal biasa di startup. Strategi 'bakar uang' ini juga menjadi bagian dari edukasi pasar supaya mau beralih dari transaksi tunai ke non-tunai.
“Yang perlu dicatat adalah OVO sebagai perusahaan keuangan digital memiliki roadmap yang jelas untuk menuju profitabilitas sebagai sebuah entitas bisnis yang sustainable," kata Karaniya.
Apalagi, perusahaannya baru berusia dua tahun dan sedang dalam tahap edukasi untuk pengembangan pangsa pasar. "Ini penting, karena pasar uang elektronik Indonesia baru bergeliat, dan akan terus berkembang dengan teramat pesat dalam 1 sampai 2 tahun ke depan,” katanya.
Sejak beroperasi di Indonesia pada 2017, Karaniya mengklaim bahwa popularitas OVO melejit. Ia memastikan bahwa perusahaannya memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menuju profitabilitas sebagai sebuah entitas bisnis yang tumbuh berkelanjutan (sustainable).
Selain itu, Karaniya mengatakan bahwa wajar apabila OVO mengenakan biaya transfer kepada konsumen untuk setiap transaksi ke perbankan. "Kalau dibandingkan dengan biaya transfer di perbankan, jelas nilai yang diterapkan OVO jauh lebih rendah. Apalagi dari sisi fitur, teknologi kami real time, aman, dan nyaman,” katanya.
(Baca: Kasus WeWork Sinyal Berakhirnya Startup Rugi yang Gencar 'Bakar Uang')