Penetrasi layanan keuangan digital selain baik seperti financial technology (fintech) di Indonesia diprediksi tumbuh dari 5% pada 2017 menjadi 15% tahun ini. Meski terbilang cepat, namun menurut McKinsey,  penetrasi fintech di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara tetangga.

Di Singapura misalnya, 48% dari jumlah penduduknya telah menggunakan fintech. Lalu, Filipina 23%; Australia 17%; Vietnam 16%; Malaysia 15%; Thailand 10%; dan, Myanmar 6%.

Selain itu, Indonesia dinilai tidak akan semasif Tiongkok dalam mengadopsi layanan fintech. Pada 2017, penetrasi layanan keuangan non bank di Negeri Tirai Bambu itu mencapai 67%. Lalu, penetrasinya meningkat menjadi hampir 100% tahun ini.

Perwakilan McKinsey & Company Indonesia Guillaume de Gantes menyatakan, penetrasi layanan keuangan non bank di Tiongkok yang masif didukung oleh fintech pembayaran seperti Alipay dan WeChat. "Di Tiongkok, retailnya sangat masif mengadopsi fintech. Bank pun beralih ke digital di sana," kata Guillaume , Jakarta, Senin (11/2).

(Baca: Bunga Pinjaman Fintech Berpeluang Turun Tahun Ini)

Sementara di Indonesia, menurutnya akan mengadopsi skema penetrasi layanan keuangan non bank di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. "Jadi masyarakat akan tetap menggunakan bank dan layanan keuangan non bank. Uang tunai juga masih akan digunakan. Meskipun secara signifikan akan beralih ke non tunai seperti di India," kata dia.

Pertumbuhan fintech Indonesia juga didukung oleh pemain seperti Go-Pay, OVO, TCash dan lainnya dalam menjangkau masyarakat hingga ke daerah terpencil. Apalagi, fintech pembayaran menawarkan solusi keuangan berteknologi kode Quick Response (QR) yang mempermudah masyarakat dalam bertransaksi.

Sementara perwakilan McKinsey & Company Indonesia yang lain, Bruce Delteil menambahkan, penetrasi layanan keuangan non bank di setiap negara bisa berbeda karena tiga faktor. Pertama, tergantung pada seberapa dalam penetrasi digital. Di Indonesia, pengguna ponsel pintar (smartphone) mencapai 124 juta dan pengguna internetnya 133 juta pada 2017.

(Baca: Indonesia Harus Terbiasa dengan Pelemahan Ekonomi Tiongkok)

Kedua, seberapa besar ketergantungan masyarakatnya terhadap uang tunai. "Di Indonesia, transaksi menggunakan uang tunai masih masif," kata Bruce. Ketiga, proporsi produk digital yang tersedia.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Mercy Simorangkir mengatakan, bahwa infrastruktur seperti Palapa Ring semestinya akan membantu penetrasi layanan keuangan non bank lebih cepat lagi di Indonesia. "Saya yakin pemerintah bekerja sama untuk membangun ekosistem di industri ini," kata dia.

Reporter: Desy Setyowati