Riset Grup Bank Dunia menunjukkan, transaksi 12 dari 13 atau 92,3% platform teknologi finansial (fintech) global tumbuh meski ada pandemi corona. Nilai transaksi rerata meningkat 13%, sementara volumenya 11%.
Studi bertajuk ‘Global Covid-19 FinTech Market Rapid Assessment Study’ itu berdasarkan survei terhadap 1.385 fintech di 169 negara. Riset ini dilakukan oleh Grup Bank Dunia bersama dengan Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF) University of Cambridge Judge Business School dan World Economic Forum.
"Sebagian besar industri fintech global tangguh dalam menghadapi pandemi virus corona," kata Co-Founder dan Executive Director CCAF Bryan Zhang dikutip dari siaran pers, Kamis (3/11).
Namun, pertumbuhan itu tidak merata di seluruh sektor fintech maupun wilayah. Ini bergantung pada tingkat perkembangan ekonomi dan ketatnya peraturan terkait penanganan pandemi di masing-masing negara.
Transaksi sektor fintech pembayaran, digital savings, asset exchanges, dan investasi atau wealth tumbuh lebih dari 20%. Sedangkan digital banking dan identity, serta regulatory technology (regtech) hanya 10%.
Satu-satunya sektor yang melaporkan penurunan transaksi selama pandemi yakni pembiayaan atau fintech lending. Volume transaksi rata-rata turun 8%, pemberian pinjaman melorot 6%, dan kredit macet naik 9%.
Berdasarkan geografis, transaksi fintech di Timur Tengah dan Afrika Utara tumbuh 40%. Sedangkan di Amerika Utara dan Afrika Sub-Sahara meningkat 21%, lalu Amerika Latin 13%.
Riset tersebut menunjukkan, transaksi di pasar yang menerapkan karantina wilayah atau lockdown rata-rata tumbuh 50%. Angkanya lebih tinggi dibandingkan negara yang memiliki peraturan lebih longgar.
Kemudian, nilai transaksi di negara yang pasarnya tengah berkembang atau emerging market tumbuh 15%. Dari sisi volume naik 12%. Sedangkan di negara maju, nilainya meningkat 11% dan volumenya 10%.
Meski begitu, perusahaan fintech di emerging market cenderung mendesak pemerintah untuk mendukung dari sisi peraturan maupun intervensi. Namun, penulis riset tidak memerinci alasannya.
Riset itu juga menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19, dua per tiga dari perusahaan membuat dua atau lebih perubahan pada produk atau layanan. Ini untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebiasaan akibat pagebluk corona.
Selain itu, 92% perusahaan sedang dalam proses atau sudah meluncurkan produk maupun layanan baru.
Menteri Inggris untuk Afrika di Foreign, Commonwealth & Development Office (FCDO) James Duddridge mengatakan, Covid-19 menimbulkan risiko eksternal serta tantangan operasional dan pendanaan bagi fintech. “Mereka mengkhawatirkan kemampuan dalam meningkatkan modal di masa depan," kata dia.
Selain itu, ia mencatat bahwa beberapa perusahaan mengalami penurunan posisi keuangan.
Tantangan lainnya yakni keamanan. Riset itu mengungkapkan bahwa sekitar 40% responden sedang dalam proses atau sudah meningkatkan sistem keamanan. Ini untuk mencegah kejahatan siber atau fraud yang melonjak saat pandemi.
Kemudian, penghentian operasional (downtime) agen atau mitra bisnis di fintech meningkat 4%. Pertanyaan dan permintaan bantuan akibat gagal akses masuk oleh pengguna juga naik 6%.