OJK Atur Restrukturisasi Pinjaman di Fintech untuk Tekan Kredit Macet

Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9/2019).
20/1/2021, 15.34 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan izin kepada perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) merestrukturisasi pinjaman. Ini sebagai bagian dari upaya memitigasi risiko kredit macet selama pandemi corona.

Sebelumnya, OJK hanya mengatur restrukturisasi pinjaman lembaga pembiayaan seperti perbankan hingga multifinance, saat pandemi Covid-19. Kemudian, otoritas menerbitkan aturan tentang kebijakan countercyclical dampak penyebaran coronavirus disease 2019 bagi lembaga jasa keuangan non-bank.

Dalam beleid itu, OJK menambahkan lembaga pembiayaan berbasis teknologi atau fintech lending.

Kepala Departemen Pengawasan industri keuangan non bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan, regulasi itu memungkinkan fintech lending merestrukturisasi pinjaman, bukan hanya bagi peminjam, tetapi juga penyelenggara. Salah satu tujuannya yakni menekan laju kredit macet.

"Dengan restrukturisasi, pinjaman macet bisa dikurangi dan akan tetap meningkatkan kepercayaan konsumen kepada penyelenggara fintech lending," kata Bambang kepada Katadata.co.id, Rabu (20/1).

Aturan tersebut juga membuat restrukturisasi oleh fintech lending, secara prinsip, sama seperti lembaga keuangan. "Restrukturisasi ini memberikan keringanan kepada debitur untuk melunasi pinjaman," ujarnya.

Hanya saja, ada mekanisme tambahan yang harus dilakukan oleh fintech lending ketika memberikan restrukturisasi. "Pihak yang memberikan persetujuan yakni pemberi pinjaman (lender)," ujar Bambang.

Sebab, fintech lending hanya berfungsi sebagai platform perantara, bukan pemberi pinjaman. Alhasil, penyelenggara tidak memiliki kewenangan memberikan restrukturisasi, kecuali ada kuasa dari lender.

Sebelum adanya regulasi tersebut, OJK mengeluarkan surat nomor S-360/NB.21/2020 pada awal tahun lalu (3/4/2020). Dalam surat itu, OJK meminta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendorong anggota memberikan keringanan kredit kepada peminjam yang terkena dampak pagebluk virus corona.

Juru Bicara AFPI Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, restrukturisasi memang diperlukan oleh fintech lending untuk memitigasi risiko kredit macet. "Restrukturisasi akan berdampak pada penurunan risiko penyaluran kredit, terutama saat pandemi," katanya.

Berdasarkan data AFPI per November 2020, terdapat 87 platform fintech lending yang mendapatkan permohonan restrukturisasi dari debitur. Jumlah pinjaman yang difasilitasi dan disetujui oleh lender sebanyak 173.351 akun dengan total Rp 537,9 miliar. 

Restrukturisasi yang diajukan oleh peminjam berupa permohonan kelonggaran waktu pembayaran dan pengurangan denda.

Sedangkan angka tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman di bawah 90 hari (TKB 90) per Oktober 2020 dapat dilihat pada Databoks di bawah ini. TKB yang turun menunjukkan bahwa keterlambatan peminjam membayar cicilan atau tingkat wanprestasi (TWP 90) atau kredit macet meningkat.

Sebelumnya, Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi sempat mengatakan bahwa asosiasi berencana membentuk gugus tugas peningkatan kualitas aset untuk meredam kredit macet itu. "Itu menjadi misi pertama kepengurusan baru," kata dia pada September tahun lalu (30/9/2020). "Tujuannya, memperbaiki TWP 90. Rasio kredit macet ditangani dengan sistematis."

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan