Otoritas Jasa Keuangan alias OJK mencatat dua pembatalan tanda bukti terdaftar penyelenggara teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending hingga 25 Oktober 2021. Jumlah fintech lending pun terus menyusut, kini berjumlah 104 penyelenggara.
Kedua penyelenggara yang membatalkan tanda daftar yakni PT Digital Tunai Kita dan PT Kapital Boost Indonesia. Menurut OJK, keduanya membatalkan tanda daftar karena ketidakmampuan meneruskan kegiatan operasional.
"Dengan demikian jumlah penyelenggara fintech lending berizin dan terdaftar berjumlah 104 penyelenggara," menurut keterangan resmi otoritas hari ini (4/11).
Sedangkan dari 104 penyelenggara fintech lending berizin dan terdaftar, tinggal tiga penyelenggara yang masih berstatus terdaftar saja. Ketiganya yaitu PT Kas Wagon Indonesia, PT Mapan Global Reksa, dan PT Pintar Inovasi Digital. Itu terjadi karena, ketentuan administrasi yang masih kurang. Meskipun begitu, ketiganya masih bisa beroperasi dan diberi waktu untuk segera melengkapi persyaratan berizin.
Otoritas juga mencatatkan perubahan nama satu sistem elektronik dari ShopeePayLater menjadi PT Lentera Dana Nusantara.
Berdasarkan data OJK, jumlah fintech lending pada 10 Januari mencapai 149 penyelenggara. Artinya, ada 45 fintech lending sejak awal tahun ini yang mengembalikan tanda daftarnya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan, selain karena ketidakmampuan menjalankan operasional, alasan lain puluhan fintech lending ini mengembalikan tanda daftar yaitu karena sistem elektronik yang kurang andal.
Kondisi itu membuat penyelenggara fintech lending tidak mampu memroses perjanjian atau underwriting secara baik. Sistem yang digunakan juga tak dapat menghasilkan penilaian kredit secara akurat.
Padahal, Bambang menilai bahwa kekuatan fintech lending terletak pada pemanfaatan teknologi informasi, khususnya kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan mahadata (big data).
Kemudian, fintech lending kurang permodalan. Puluhan penyelenggara fintech lending dinilai tidak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal. "Banyak penyelenggara bermodal kecil," kata Bambang kepada Katadata.co.id, pada September lalu.
Sedangkan rata-rata dalam tiga tahun beroperasi, mayoritas dari penyelenggara fintech lending belum mampu menghasilkan laba. Alhasil, modalnya terus tergerus.
Para penyelenggara juga tidak mampu memenuhi persyaratan perizinan. Di samping itu, OJK menambah sejumlah persyaratan, seperti uji kelayakan (fit and proper test) bagi pengurus, peningkatan modal disetor hingga ekuitas minimum.
Penambahan persyaratan itu bertujuan meningkatkan kualitas bisnis dan layanan fintech lending. Oleh karena itu, otoritas akan mengatur penyertaan modal inti, yang masuk dalam rancangan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77.
Dalam beleid itu, OJK meminta penyelenggara fintech lending meningkatkan jumlah ketentuan modal inti yang harus disetor dari minimal Rp 2,5 miliar menjadi Rp 15 miliar. Ini harus dipenuhi ketika mengajukan perizinan.
"Bila modal kecil, khawatir akan menjadi pemain kecil. Maka, tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha yang sudah ada dan lebih besar," kata juru bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Katadata.co.id.
Diketahui, per September jumlah penyaluran pinjaman fintech lending mencapai Rp 14,26 triliun. Nilai tersebut turun 4,61% dibandingkan pada bulan sebelumnya yang menyentuh Rp 14,95 triliun.
Meski demikian, penyaluran pinjaman fintech lending per September meningkat 109,10% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada September 2020, penyaluran fintech lending tercatat sebesar Rp 6,82 triliun.