GoJek mengklaim bahwa perusahaan sudah pada jalur yang tepat untuk mencetak keuntungan atau profit meskipun tidak didukung permodalan yang kuat seperti kompetitornya, Grab, namun berbekal pada upaya efisiensi dalam menjalankan usahanya.
Chief Executive Officer GoPay (CEO) GoPay Aldi Haryopratomo mengatakan dengan modal yang relatif tidak besar tersebut membuat Gojek dianggap sebagai 'underdog'. "(Fokus) itu telah terbayar. Itu sebenarnya salah satu manfaat dari menjadi pemain 'underdog' di pasar ini, ”ujar Aldi seperti dikutip dari DealStreetAsia, Sabtu (18/1).
Aldi mengatakan bahwa sepanjang 2019 perusahaan tumbuh sangat baik yang merupakan buah dari upaya efisiensi untuk memaksimalkan setiap rupiah modal dan setiap detik waktu pengembang perusahaan, selama sembilan tahun GoJek berdiri.
Pasalnya, sejak didirikan pada 2010, GoJek hanya mengumpulkan US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun modal dalam 12 putaran pendanaan. Angka tersebut mungkin terlihat besar jika dibandingkan dengan perusahaan teknologi lainnya di Indonesia.
(Baca: Bukan Promosi, Gojek Fokus 3 Layanan untuk Dorong Transaksi di 2020)
Namun jumlah tersebut hanya sepertiga dari jumlah pendanaan yang didapatkan kompetitornya, Grab, sebesar US$ 9 miliar atau Rp 126 triliun dalam 29 putaran. Berbekal permodalan yang kuat tersebut Grab pun berekspansi secara agresif pada awal 2013 baik secara organik maupun anorganik melalui akuisisi operasional Uber di Asia Tenggara.
Sedangkan GoJek, dengan permodalan yang jauh lebih kecil, hanya fokus di pasar Indonesia hingga akhir 2018 ketika perusahaan akhirnya memutuskan untuk berekspansi ke beberapa negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand.
Aldi menjelaskan, strategi efisiensi GoJek merupakan tuntutan dari pemodal, yang terdiri dari perusahaan investasi swasta seperti Northstar, KKR, dan Warburg Pincus, yang mendorong perusahaan menggunakan permodalannya secara bijaksana. “Kami tidak memiliki neraca keuangan raksasa yang dapat memberikan dukungan tanpa batas," ujar Aldi.
GoJek, seperti banyak perusahaan teknologi lainnya, saat ini mulai dituntut untuk mencetak keuntungan, atau setidaknya memiliki strategi yang jelas untuk mencapainya. Pasalnya investor mulai menelisik model bisnis perusahaan teknologi seperti GoJek pasca tumbangnya perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), WeWork.
(Baca: Selain Promosi, Begini Strategi Gojek Dorong Transaksi GoFood di 2020)
Sehingga, sangat penting bagi GoJek untuk membuktikan kalau model bisnis yang mereka pakai saat ini solid dan mampu untuk meraih keuntungan. Hal ini agar GoJek tidak bernasib sama seperti perusahaan teknologi ride hailing asal AS, yakni Uber dan Lyft, yang terus terpuruk sejak melantai di Wall Street tahun lalu.
Adapun GoJek yang dijuluki sebagai super-app, saat ini telah memiliki lebih dari 20 layanan di aplikasinya. "Ini merupakan DNA perusahaan yang fokus melayani konsumen secara menyeluruh, tidak hanya untuk pemesanan makanan (GoFood) dan ride hailing saja, tapi untuk memenuhi seluruh kebutuhan konsumen," jelas Aldi.
Chief Food Officer GoJek Group atau GoFood, Catherine Hindra Sutjahyo, membenarkan bahwa permintaan dari investor telah mengantarkan perusahaan ke posisi yang baik untuk mengejar keuntungan. "Investor selalu memaksa kami untuk terus naik kelas, jadi kami berada di jalur yang benar, seperti yang kita rencanakan," ujar Catherine.
Adapun GoPay dan GoFood merupakan dua kontributor utama pendapatan perusahaan. Sepanjang 2019 GoFood mencatatkan total transaksi sekitar Rp 28 triliun atau tumbuh 2,5 kali lipat dalam setahun, sedangkan GoPay mencatatkan transaksi hingga sekitar Rp 88 triliun.
(Baca: Pendapatan Naik 2 Kali Lipat, Gojek Ungkap Kinerja 5 Layanan pada 2019)