Nadiem Makarim resmi ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Kabinet Indonesia Maju. Ketua Asosiasi E-commerce (idEA) Ignatius Untung mengatakan, ada beberapa tantangan yang mesti diatasi Pendiri Gojek tersebut dalam mengembangkan pendidikan di era digital.
Dengan latar belakang pendiri sekaligus CEO startup, Ignatius berharap Nadiem mampu mengubah cara mengajar di Tanah Air. Karena itu, menurutnya wawasan guru maupun dosen perlu diperluas, terutama terkait ekonomi digital.
"Kalau wawasan guru tidak ke sana (ekonomi digital) dan tidak cukup luas, mau mengajarkan tentang apa? Bilangnya, 'dari dulu kurikulumnya seperri ini' tetapi tidak dilihat lagi (perkembangannya). Belajarnya tidak berorientasi pada hasil," kata dia kepada Katadata.co.id, kemarin (23/10).
Bila wawasan pengajarnya terkait ekonomi digital sudah luas dan relatif baik, ia berharap para pelajar memiliki konteks yang tepat terkait industri di mana mereka akan bekerja nantinya. Selain itu, mereka diharapkan sudah tahu dan bercita-cita mau bekerja di mana sejak sedini mungkin
(Baca: Dipilih Jokowi Jadi Mendikbud, Nadiem: Saya Lebih Mengerti Masa Depan)
Sejauh ini, ia melihat bahwa para pelajar hanya memahami cara kerja pekerjaan umum seperti dokter, polisi, guru, dan lainnya. Padahal, industri kian berkembang ke arah digital. Alhasil, muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang dibutuhkan oleh industri ke depan.
Ia mencontohkan, banyak para pelajar atau mahasiswa yang belum paham cara kerja analis big data. "Kalau tidak tahu (cara kerjanya), bagaimana mereka mau ke bidang itu. Jadi kalau pun kerja, terpaksa. Lama kelamaan bisa saja suka, tetapi lebih bagus suka dulu baru dapat pekerjaan," kata dia.
Secara keseluruhan, menurutnya tantangan Nadiem ke depan sebagai Mendikbud adalah memperluas wawasan para pengajarnya. Lalu, membangun konteks yang tepat dan luas terkait ekonomi digital di kalangan pelajar. Dengan begitu, para pelajar diharapkan lebih kritis ketimbang berfokus menghafal.
"Seharusnya paling lambat Sekolah Menengah Pertama (SMP) akhir atau Sekolah Menengah Atas (SMA) awal (sudah diajarkan bisnis dan ekonomi digital), supaya mereka punya konteks. Cita-cita juga dibangun dari awal," kata dia.
(Baca: Pemerintah Siapkan Dana Pengembangan Keahlian Buat Genjot Kualitas SDM)
Nadiem pun menjelaskan alasan kenapa dirinya dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Mendikbud. "Walaupun bukan dari sektor pendidikan, saya lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan, karena bisnis saya di bidang masa depan, mengantisipasi masa depan," kata Nadiem di Jakarta, kemarin (23/1).
Nadiem mengaku berat hati meninggalkan Gojek, bisnis yang dirintisnya sejak awal. Namun, ia merasa tertantang untuk memperbaiki pendidikan di Tanah Air agar mampu beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan.
Sebab, ia menilai sistem pendidikan di Indonesia dalam 20-30 tahun terakhir tak banyak berubah. Meski demikian, ia mengapresiasi kinerja menteri pendidikan sebelumnya, Muhadjir Effendy yang melakukan sejumlah terobosan.
Ke depan, pria kelahiran 1984 ini berkeinginan agar sistem pendidikan di Indonesia berbasis kompetensi dan karakter. Sistem pendidikan, menurut dia, perlu menyesuaikan perubahan dan dapat terhubung dengan kebutuhan industri dan perekonomian. "Sesuai visi dan misi Pak Presiden, saya akan coba menyambung, link and match antara institusi pendidikan dengan di luar pendidikan," katanya.
(Baca: Cerita Startup Habiskan Rp 1 Miliar untuk Rekrut Talenta Digital)
Firma konsultan organisasi global, Korn Ferry merilis studi bertajuk Global Talent Crunch. Dalam laporannya itu, mereka memproyeksikan Indonesia akan kekurangan sekitar 18 juta tenaga ahli pada 2030 akibat perlambatan pertumbuhan tenaga kerja di seluruh sektor industri. Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan US$ 442,6 miliar.
Managing Director Korn Ferry Hay Group Indonesia Sylvano Damanik mengatakan, kekurangan tenaga kerja level A (highly skilled) akan segera terjadi. Sedangkan untuk tenaga kerja level B (mid skilled) dan level C (low skilled) akan terjadi pada 2025.
"Dampak kekurangan tenaga kerja ahli pada sektor layanan finansial dan bisnis pada 2030 berpotensi berujung kepada pendapatan tahunan yang tidak terealisasi US$ 9,1 miliar; di sektor teknologi, media, dan telekomunikasi US$ 21,8 miliar; serta sektor manufaktur US$ 43 miliar," kata dia April tahun lalu.
(Baca: Soal Talenta Digital, Indonesia Masih Kalah dari India)