Tunggu Keputusan Kominfo, First Media Hentikan Pembelian Baru

Bolt
Bolt merayakan pencapaian 3 juta pelanggan pada Juni 2017 lalu.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
22/11/2018, 12.21 WIB

Setelah menggugat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), PT First Media Tbk dan PT Internux (Bolt) kini menempuh jalan damai. Sembari menunggu putusan Kementerian Kominfo, kedua perusahaan menghentikan sementara pembelian layanan baru.

Alhasil, pelanggan tidak bisa melakukan isi ulang (top up) maupun membeli paket berlangganan. "Perseroan memutuskan untuk sementara tidak menerima pembelian baru dari pelanggan baik isi ulang maupun paket berlangganan, sampai Perseroan mendapat arahan dan persetujuan dari Kementerian Kominfo," demikian dikutip dari siaran pers ya, Rabu (21/11) sore.

Manajemen First Media sudah mengajukan proposal penyelesaian kepada Kementerian Kominfo pada 16 November lalu. Perseroan berharap akan ada solusi dan kesepakatan di antara kedua belah pihak. "Terkait pemberitaan dan perkembangan beberapa hari terakhir, kami berterima kasih kepada Kementerian Kominfo atas kesempatan yang diberikan untuk terus berkoordinasi," demikian dikutip.

Perseroan pun kembali menegaskan, bahwa persoalan lisensi telekomunikasi nirkabel (Broadband Wireless Access 2,3 Ghz) ini tidak memengaruhi layanan. Sebab, layanan First Media yang dioperasikan PT Link Net Tbk adalah layanan televisi kabel dan internet pita lebar berbasis kabel (fixed broadband cable) yang menggunakan teknologi Hybrid Fiber Coaxial (HFC) dan fiber to the home(FTTH) yang menggunakan kabel serat optik (fiber) sebagai medium penghantar.

Adapun kasus ini bergulir lantaran First Media menunggak Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi pada 2016 dan 2017 senilai Rp 364,84 miliar. Begitu pun Bolt yang menunggak selama dua tahun sehingga harus membayar Rp 343,58 miliar.

(Baca juga: Berakhir Damai, Produsen Modem Bolt Lolos Pailit)

Lantas, kedua perusahaan di bawah naungan Lippo Group ini menggugat Direktur Operasi Sumber Daya, Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Kementerian Kominfo di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 14 November lalu. Namun, PTUN memutuskan agar keduanya memperbaiki gugatan. Padahal, batas waktu pembayaran BHP frekuensi adalah 17 November 2018.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan, keduanya sudah mencabut gugatan ke PTUN pada 19 November kemarin. Selain itu, keduanya mengajukan proposal penyelesaian ke instansinya. Untuk itu, instansinya menunda pencabutan izin penggunaan spektrum frekuensi 2,3 Ghz hingga ada keputusan.

Kementerian Kominfo pun sudah melakukan kajian sejak Senin, 19 November, lalu dilanjutkan pada Rabu, 21 November. Namun, hingga kini belum ada putusan apakah Kementerian Kominfo menerima proposal penyelesaian itu atau tetap mencabut izin penggunaan frekuensi keduanya. "Belum (ada putusan)," kata Ferdinandus kepada Katadata, Kamis (22/11).

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Kementerian Kominfo untuk memutuskan. Di antaranya, kepentingan pelanggan dan tawaran kedua perusahaan untuk melunasi tunggakan dengan cara mencicil hingga September 2020.

Sementara itu, PT Jasnita Telekomindo yang juga menunggak BHP frekuensi selama dua tahun senilai Rp 2,2 miliar memilih mengembalikan izin. Dengan begitu, perusahaan yang didirikan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Samuel Abrijani Pangarepan itu berhenti beroperasi. Meski begitu, Jasnita tetap harus membayar tunggakan.

Itu artinya, ada slot frekuensi 2,3 Ghz yang kosong dan bisa diisi oleh perusahaan lain. Hanya, Chief Sales and Distribution Officer PT Indosat Tbk Hendri Mulya Syam tidak tertarik dengan slot frekuensi tersebut. "Kalau hanya (untuk) regional sangat sulit untuk kami berkompetisi," ujar dia beberapa waktu lalu (19/11).

Reporter: Desy Setyowati