Banyak negara mengkaji aturan baku untuk menarik pajak digital, khususnya untuk produk yang berasal dari luar negeri. Meski belum ada konsensus, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) membagikan dua strategi yang memungkinkan pemerintah memajaki produk digital milik produsen asing.
Kedua strategi itu yakni mekanisme supllier collection dan reverse charge. Keduanya bisa diimplementasikan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), belum Pajak Penghasilan (PPh).
"Kedua mekanisme ini memungkinkan untuk dilakukan," ujar Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo saat diskusi bertajuk 'Bijak Pajaki Ekonomi Digital' di Jakarta, Kamis (25/10).
Pertama-tama negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepakat bahwa negara yang penduduknya menjadi konsumen dari produk digital berhak memungut PPN.
Sementara, setengah dari penduduk Indonesia telah terpapar internet dan menjadi pasar potensial bagi layanan aplikasi dan konten melalui internet (over the top/ OTT). "Indonesia punya peluang untuk memungut PPN," ujar Prastowo.
Sementara dalam mekanisme supplier collection, pemerintah menyerahkan tugas memungut PPN kepada supplier asing. Mekanisme ini sudah diterapkan oleh 29 dari 35 negara OECD seperti Uni Eropa, Rusia, India, dan Afrika Selatan. "Ini cocok untuk model Business to Costumer (BtoC)," ujarnya.
(Baca juga: Pelajaran Pajak Digital dari Amazon dan Australia)
Teknisnya, supplier dengan omzet melebihi batas (treshold) pengusaha kena pajak (PKP) yakni Rp 4,8 miliar wajib mendaftar sebagai pemungut PPN di Indonesia. Selanjutnya, supplier menyetor dan melaporkan PPN yang terkumpul melalui mekanisme simplified registration.
Konsep ini sempat diusulkan oleh Go-Jek. Penyedia layanan on-demand tersebut menawarkan diri untuk menjadi penyedia jasa aplikasi (application service provider/ASP) alias sebagai agen pajak pada akhir 2017. Nantinya, Go-Jek bisa melayani pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Hanya, rencana ini urung dilaksanakan.
Hanya, pemerintah harus merevisi Undang-Undang (UU) PPN untuk menjalankan mekanisme supplier collection ini. Sebab, substansi pasal 3A ayat 3 UU PPN menyebutkan bahwa pungutannya langsung dari konsumen (consumer collection). Selain itu, pemerintah harus merevisi pasal 2 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terkait pendaftaran.
Sementara untuk pelaku dengan model Business to Business (BtoB), mekanisme reverse charge bisa diimplementasikan. Skema pungutan PPN-nya atas impor jasa luar negeri (self-assesed) oleh PKP.
Masalahnya, model bisnis digital ini beragam. Misalnya, Pasarpolis dan Emasdigi menganut model Business to Business to Costumer (BtoBtoC) karena konsumennya adalah mitra usaha dan masyarakat umum. Ada pula model bisnis Consumer-to-Consumer (CtoC) seperti Blanja.com, Elevenia, dan Bukalapak. Lalu, ada model Business to Business to Government (BtoBtoG) seperti OnlinePajak.
Yustinus mengakui, bisnis digital memiliki banyak model bahkan pendapatan yang berbeda dari konvensional. "Tapi, minimal Indonesia punya acuan dulu. Nanti yang lainnya mengikuti," kata dia. Toh, nantinya bisnis konvensional mau tidak mau mengadopsi teknologi juga dan beralih ke digital. Untuk itu, kejelasan aturan menjadi yang utama.
Hal senada disampaikan oleh Perwakilan Utama untuk Indonesia US-ASEAN Business Council Desi Indrimayutri. "Pelaku usaha pada dasarnya mau patuh pajak, asal aturannya jelas," kata dia. Untuk itu, menurutnya pemerintah harus memperbaiki sistem pelaporan pajak supaya pelaku usaha minimal patuh melaporkan kewajibannya.